1 | Regret

253 14 3
                                    

Baskara menyapa dengan senyumnya, membuatku menikmati tiap pergerakannya dari sini, di atas pohon jambu. Beginilah kebiasaanku, menatap fajar di pagi hari tanpa rasa bosan.

Aku terjebak dalam lamunan angan. Potongan potongan kejadian yang pernah aku lalui dengan Novan terus menari. Satu nama itu berhasil memorak-porandakan hati dan pikiranku. Sial! Mengapa pagi-pagi begini Novan sudah menyapa lewat khayalanku? Ah, bukan kali ini saja sebenarnya, tiap saat bayangan wajah Novan selalu saja menyapa, tak pernah bosan melintas di  otak dan hatiku.

Aku termenung sembari menikmati semilir angin pagi hari. Rupanya mentari sudah semakin tinggi. Berapa lama aku duduk sendiri di atas pohon ini?

Dorrr!

Suara keras begitu mengagetkanku. Sialan. Aku berserapah dalam hati.

Tiba-tiba tubuhku oleh karena tak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya terjatuh. Aku merintih kesakitan, sedangkan seseorang yang mengagetkanku justru terbahak-bahak. Sungguh, selera humornya receh sekali.

Tanganku mengibas-ibaskan celanaku yang kotor terkena tanah.

"Hahaha, ekspresi lo kocak banget, Ra," ujar Novan. Dia masih saja tertawa, bahkan kulihat ujung matanya sedikit berair. Sebegitu lucunyakah? Kurasa Novan memang memiliki selera humor yang receh.

Aku mencebik kesal, dengan geram memukul Novan berkali-kali.

"Ish, dasar ngeselin!" Aku terus memukulinya, Novan masih saja tertawa. Gila! Jika sudah begini, rasanya percuma memukul Novan jika ia saja tak merasa sakit.

Dengan raut kesal, aku mengentakkan kaki.

"Kebiasaan banget sih pagi-pagi udah ada di atas pohon, mau jadi onyet lo?" tanya Novan.

Sekarang aku duduk menyandar di batang pohon dengan Novan di sebelahku. Aku tak menggubris penuturannya. Dia sudah tahu jawabannya, lalu untuk apa memberitahunya ulang?

Fajar. Satu-satunya alasan aku suka duduk di atas pohon pagi-pagi buta. Saat fajar datang, saat itu pula aku berharap bahwa fajarku tetap tersenyum seperti fajar di langit sana.

Bagiku, Novan adalah fajarku. Aku ingin selalu melihatnya tersenyum seperti fajar menyapa pagi.  Sesederhana itu.

Aku dan Novan sudah bersahabat sejak masa SMP. Kami cukup dekat, bahkan bisa dibilang sangat dekat. Novan selalu mengikutiku, melindungiku, dan menemaniku, bahkan dialah satu-satunya orang yang selalu peduli padaku.

Saat teman sebayaku mengejek dan menjauhiku, Novan satu-satunya teman yang tetap ada di sampingku. Saat kedua orang tuaku tak lagi peduli dengan apa pun tentangku, Novan satu-satunya yang peduli tentang apa pun yang mengenaiku.

Dia, orang pertama yang kupeluk saat dunia menjatuhkanku. Orang tuaku? Bahkan mereka alasanku terpuruk.

"Lo gak bakal bisa tanpa gue," ujarnya kala itu.

Kukira ucapan Novan ada benarnya. Aku mana bisa melawan mereka jika tanpa Novan. Aku mana bisa sekuat sekarang tanpa Novan.

"Ra, udah dong jangan diem mulu, gak enak tahu," ujar Novan.

Aku menghadap ke arahnya, kutangkup pipinya dengan tanganku. Mata kami beradu, tapi hati kita tak pernah satu. Entahlah.

Aku suka warna bola mata Novan, terlihat cerah tanpa sedikit pun sendu dan kuharap akan selalu begitu.

"Gue nggak pa-pa, Novan, Jangan lebai, oke?" Dengan gemas aku mencubitnya. Novan merintih, membuatku tertawa karena ekspresinya lucu.

Novan menurunkan kedua tanganku, kemudian dia bersiap untuk tidur di pahaku. Sebelumnya ia menampakkan seukir senyum yang selalu menjadi canduku. Rasanya, aku tak sedikit pun ingin melewati hari tanpa Novan. Dia terlalu penting dalam hidupku.

Kumpulan Cerita Pendek RomantisWhere stories live. Discover now