AIRBUS FACTORY

1.6K 300 98
                                    

"Jim, ini bisa jadi kesempatan sekali seumur hidupmu! Jangan lewatkan kesempatan ini. Mengunjungi pabrik bukanlah hal biasa, apalagi untuk first officer sepertimu!"

Jimin mengangguk semangat, mencatat baik-baik apa saja yang harus dia tanyakan nanti. Tepat dini hari tadi, Namjoon menelponnya. Mengajak Jimin untuk menemaninya dalam kunjungan ke pabrik. Jimin senang sekaligus lega. Kaptennya telah pulih.

Mengunjungi pabrik Airbus adalah hal biasa bagi kapten senior sekaligus representatif maskapai seperti Namjoon. Tapi bagi Seokjin yang hanya kapten senior biasa, terlebih bagi seorang first-officer yang baru dua tahun lulus seperti Jimin, hal ini adalah keajaiban.

"Biasanya hanya kapten senior yang ditunjuk langsung oleh Bos Besar yang akan ke pabrik. Tapi kali ini Namjoon memutuskan untuk membawamu. Jangan kedipkan matamu ketika melihat Airbus dirakit, oke?"

Jimin mengangguk lagi. Anggukannya tampak sangat antusias, tidak sabar untuk mengunjungi perusahaan maskapai raksasa.

"Namjoon kenal baik dengan CEO Airbus dan Direktur bagian A320. Pastikan kau merekam semua pembicaraan mereka baik-baik diotakmu." Jelas Seokjin lagi lalu dia  menepuk bahu Jimin, "dan Jim.." Katanya pelan membuat Jimin merinding, "jika kau diajak oleh Namjoon naik The Number One.. Sumpah aku akan iri sampai mampus."

.
.
.

Wajah Namjoon tampak sangat segar dan sehat ketika Jimin menjumpainya di lobby hotel. Kaptennya itu menggunakan celana jins dan hoodie yang dilapisi dengan jaket denim untuk melindungi diri dari dinginnya udara di kota Toulouse. Jika melihat Namjoon dengan tampilan seperti ini, rasanya tidak ada yang percaya jika Namjoon adalah kapten senior yang memiliki sertifikat terbang untung empat jenis pesawat sebab Namjoon terlihat seperti anak muda pada umumnya.

"Sorry, kau harus pindah kamar karena kondisiku." Namjoon duduk di sebelah Jimin sambil menunggu taksi pesanannya sampai. "Selama ini Seokjin yang mengurusiku, dan aku tidak nyaman jika Seokjin yang sedang mengurusiku menjadi tontonan banyak orang."

"Tidak apa." Jimin menjawab setengah hati. Karena sebenarnya bukan itu yang dia rasakan. Entah kenapa Jimin merasa cemburu dan kalah dari Seokjin. Mengetahui bahwa Namjoon bergantung pada Seokjin, membuatnya iri. Dia juga ingin Namjoon bergantung padanya. Walaupun terdengar mustahil.

"Terimakasih karena sudah mengajakku mengunjungi pabrik." Jimin kembali bersuara setelah jeda yang cukup asing terjadi di antara mereka. "Ini...," Jimin ragu dengan kalimat selanjutnya, namun dia mengeratkan kepalan tangannya untuk meyakinkan diri. "Ini bukan sebagai permintaan maaf karena aku harus pindah kamar kemarin 'kan?" Jimin menundukkan kepalanya, menolak untuk melihat wajah Namjoon karena takut.

Sementara Namjoon, dia mengedipkan matanya beberapa kali, seolah sedang mencerna kalimat Jimin, lalu kapten senior itu tertawa cukup keras hingga Jimin mau tidak mau mengabgkat kepalanya dan memerhatikan kaptennya. "Astaga...," Namjoon memegangi perutnya yang mulai kram karena tertawa, "pemikiran macam apa itu."

Jimin berdecak kesal, merasa sia-sia karena sudah takut tadi. Walaupun dia berdecak samar, Namjoon dapat mendengarnya dan itu membuat tawanya semakin menjadi-jadi.

Melihat wajah Jimin yang kesal, Namjoon menghentikan tawanya dan menepuk punggung Jimin pelan. "Aku mengajakmu memang karena ingin pergi denganmu." Jelas Namjoon singkat.

Jimin mengalihkan kepalanya, tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang mungkin sedang menampilkan ekspresi konyol karena kalimat sederhana Namjoon tadi.

Setelahnya tidak ada percakapan di antara mereka bahkan hingga mereka sudah berada di dalam taksi menuju pabrik Airbus. Jimin sibuk menenangkan dirinya yang masih terkena efek kalimat Namjoon tadi, sementara Namjoon sibuk dengan pikirannya sendiri yang tidak bisa Jimin tebak.

AIRPLANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang