12

101 3 0
                                    

Brian datang disore hari. Mengajak Amor untuk makan malam diluar. Tentu saja Amor menolak. Namun lagi-lagi karena alas an sakit dan siapa yang akan merawat dirinya, Amor terpaksa untuk mengikuti kemauan Brian.

Amor kemudian berganti pakaian. Celana panjang dan sweeter kelihatannya pas dikenakan saat keluar malam dengan udara dingin dan keadaannya yang masih kurang sehat. Rambutnya digerai seperti biasa. Sepatunya juga sepatu biasa. Ia tidak berdandan sama sekali. Namun seluruh duniapun tau, kalau dia tetap cantik.

Amor dan Brian berangkat mengendarai mobil Brian. Jalanan yang cukup lengang. Brian akan membawa Amor makan malam disebuah tempat yang romantis. Ya. Memang romantis. Sebuah rumah makan di balkon teratas sebuah gedung. Dihiasi lampu-lampu kuning ditepinya. Sebuah meja lengkap dengan 2 kursi dan makanan berada dipojok adalah pesanannya. Mereka duduk berhadapan.

"Amor, apa kamu masih suka lampu seperti itu?" Tanya Brian sambil menunjuk lampu-lampu kuning di tepi.

"tidak terlalu" jawab Amor singkat sambil tersenyum sedikit.

"apa kamu tidak takut aku bawa kemari?" Tanya Brian lagi. Sebenarnya Amor sangat malas menjawab pertanyaan Brian yang tidak bermutu itu. Sebenarnya lebih ke tidak penting. Apa harus Brian mengingatkan sesuatu yang sudah berlalu dulu itu kepada Amor? Amor benar-benar ingin makan saja kemudian pulang. Ia lebih suka sendirian bersama dengan lampu tidurnya daripada dengan Brian.

"Untk apa takut?" jawab Amor yang juga membalik pertanyaan Brian.

"Bukannya kamu takut ketinggian?" tanyanya kembali. Amor benar-benar merasa tidak nyaman. Pertanyaan-pertanyaan Brian membuat dirinya seolah sangat mengenal Amor. Dan meskipun Brian memang mengenal Amor. Namun yang dikenalnya adalah Amor yang dulu, Amor yang masih remaja. Dan Amor yang mudah sekali jatuh cinta dengan Brian.

"Tidak lagi" jawabnya singkat.

"ehmm.. apa kamu..."

"Brian, aku mau makan" ketus Amor kemudian. Merasa sudah tidak tahan lagi dengan sikap Brian dan pertanyaan-pertanyaannya.

"Baiklah. Ayo silahkan makan"

Mereka akhirnya makan dengan lahap. Amor makan dengan lahap karena memang dia lapar. Bukan karena dia senang karena pergi makan dengan Brian.

Sebaliknya dengan Brian. Ia makan dengan lahap karena bahagia bisa makan kembali bersama Amor. Wanita yang dicintainya sejak SMA. Meskipun sudah terpisah lama, namun Brian masih tetap mencintai wanita itu. Dan sampai kapanpun ia akan tetap mencintainya.

Mereka pulang setelah makan malam. Dijalan, mereka terjebak macet. Itu membuat mereka pulang dengan lambat. Dan membuat mereka bersama lebih lama. Hal yang paling dibenci Amor.

Keheningan terus melanda mobil itu. Tanpa adanya percakapan sedikitpun. Brian yang tidak nyaman dengan keheningan diantara dirinya dan Amor mencoba untuk memecah suasana.

"ehm, Amor. Bagaimana keadaaan Ibu kamu? Aku sudah sangat lama tidak berjumpa dengannya"

"Baik" jawab Amor singkat. Amor sebenarnya lebih menyukai keheningan yang tadi. Itu membuatnya merasa seolah sendirian. Bukannya sedang bersama dengan Brian.

"Kalau Ayahmu? Apa dia juga masih suka dengan kopi hitam?" Tanya Brian lagi.

"Ayah sudah meninggal" jawab Amor singkat. Sebenarnya Amor ingin menambahkan, 'kalaupun Ayah masih ada, dia tidak akan membiarkanku dekat-dekat denganmu'

"astaga, benarkah? Kenapa aku tidak tau?" entah kepada Amor atau kepada dirinya sendiri Brian bertanya.

Amor hanya diam. Tidak menjawab pertanyaan Brian. Dia merasa pertanyaan itu tidak perlu dijawab.

"harusnya aku bersamamu saat Ayahmu tiada"

Mendengar Brian bicara begitu, Amor merasa ingin memakinya. Ayahnya tidak akan meninggal jika ia dan keluarganya tidak pindah dari rumahnya yang dulu. Dan mereka tidak akan pindah jika tidak karena Amor sakit melihat kelakuan Brian yang bersama Sarah saat itu.

Amor sudah terlepas dari rasa terkejutnya karena bertemu dengan Brian tiba-tiba. Sekarang hanya tinggal rasa sakit karena luka lama yang seperti disiram air garam. Kembali sakit. Amor kembali merasakan sakit karena luka itu ternganga lagi. Hanya Dika yang mampu menutupnya dan menguburnya dalam-dalam. Namun sekarang Dika juga telah pergi, tiada siapapun yang bisa menutupnya. Membiarkannya terbuka dan menyakiti. Menyakiti dirinya hingga ke dalam.

Muncul rasa benci terhadap Brian. Karena kenapa Brian meninggalkannya dulu dan kembali seolah tiada apa-apa tejadi. Memaksa untuk menjadi bagian dari hidupnya lagi. Dan Amor benci itu. Ia ingin mengatakan kalau dirinya jadi begini karena Brian. Ya. Semua karena Brian. Karena Brian telah melepaskannya. Tiada kata selain benci dan kebencian.

Saat sampai di apartemen, Brian ingin mengantar Amor sampai kedalam. Namun, Amor menolaknya dan masuk sendiri. Dia langsung merebahkan dirinya diatas ranjang. Dengan lampu tidurnya yang menyala dia terdiam. Pandangannya kosong. Dia kembali menyelam kedalam dirinya. Jauh kedalam. Merasakan kembali apa yang kini tengah dialaminya. Terus begitu hingga ia menemukan titik dimana ia sudah lelah. Namun ia belum menemukan titik itu. Ia masih ingin berlari. Menyelam dan terus menyelam. Semakin dalam hingga tiada siapapun yang bisa menariknya ke atas lagi. Dan mati.

Amor terbangun. Pagi yang sangat cerah. Dia turun dari ranjangnya dan menghampiri cahaya matahari yang masuk lewat jendela balkonnya. Kembali dia berdiri di belakang pagar balkon. Dan melihat keindahan-keindahan yang ada dihadapannya sekarang. Sekali lagi, sungguh menakjubkan.

Amor memutuskan untuk mandi. Dia ingin mandi air hangat hari ini. Seperti hari-hari sebelumnya. Dia mulai melepas bajunya dan menggantinya dengan piyama handuk. Saat akan memasuki kamar mandi, telfonnya bordering tiba-tiba. Menghentikan langkahnya dan kembali untuk mengangkat siapa yang menelfonnya pagi-pagi begini.

Tertera nama "Mom" di layar handphonenya. Segera Amor mengangkat telefon dari Ibunya.

"halo, Ibu" mulai Amor.

"Hai, sayang. Bagaimana keadaanmu?" ucap Ibu diseberang dengan suaranya yang lembut. Masih sama seperti dulu.

"Aku baik-baik saja, Bu. Ibu sendiri bagaimana?"

"Ibu juga baik. Kamu sudah sarapan, Nak?"

"belum. Ini masih mau mandi"

"cepat mandi, dan jangan lupa untuk sarapan"

"iya, Ibu"

"Kamu tidak pulang, Nak?"

"tidak, Ibu. Aku belum ada libur. Besok aku harus masuk untuk mengerjakan beberapa laporan"

"ya sudah. Ibu hanya merindukanmu"

"Aku juga merindukan Ibu"

"Ibu tau, sudah ya, Ibu tutup dulu"

"Iya, Bu"

Telefon ditutup. Tumben sekali Ibu menelfonnya. Biasanya Ibu hanya menelfon bila Amor sedang sakit atau ada masalah. Memang dia masih sakit, baru pulang dari rumah sakit. Namun Ibu tidak tau tentang itu. Ibu tidak pernah bicara kalau ia merindukan dirinya. Sedikit aneh memang. Tapi mungkin Ibu memang sedang merindukannya. Mengetahui dia belum pulang sejak setahun yang lalu Amor mulai mengajar.

Amor kembali melanjutkan aktivitas. Mandi kemudian delivery order makanan untuk sarapan. Setelah sarapan. Ia duduk di kursi gantung yang ada di balkon. Terdiam sambil melihat sekeliling apartemen yang sedikit masih asri. Dia masih terdiam, namun tidak menyelami pikirannya. Dia hanya terdiam. Namun kendali pikirannya masih tetap utuh.

Be MINE (FINISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang