Waktu itu, aku pamit undur diri nona, sesaat saja tak akan lama
Hingga ku sampai di sini di antara rimbunnya pepohonan dan secarik puisi darimu tiba
Entahlah hanya saja aku merasa bahagia disaat aku belum membacanyaSetelah membacanya aku pernah berkata akan membalas puisimu setibanya aku di kota
Tapi sejujurnya di balik itu aku sedang mencari celah di antara kalimatmu dan tak bisa ku temukan
Dan mungkin inilah saatnya aku membalas puisimu, bahwa kita sama-sama mempertanyakan tanpa mencari sebuah jawaban
Menunggu; itulah aku dan kamu entahlah aku tak tauKita ada tapi tak pernah ada, hanya sebatas raga "kita" ada
Di sini kembali aku mempertanyakan, siapalah kita dan untuk apa? Dan mungkin jawabannya bahwa kita tak pernah berarti apa-apa selain doa tanpa usaha; entah darimu yang mungkin tak pernah melihatnyaDoa tanpa usaha bukannya sama saja dengan hampa?
Juga sesuatu tanpa kepastian bukankah sama juga dengan binasa?Dari pemikiranku disaat sunyi menyusupi logika dan hati dalam hangatnya api di bawah naungan bulan dan gemintang; malam itu seakan memberi jawaban
Bahwa aku merasa tak pernah pantas untukmu, kau terlalu luar biasa untuk diriku yang biasa saja dan kau memang pantas kepada yang lebih baikAku bukanlah apa-apa dan tak pernah berarti apa-apa
Walau kita dekat tapi di antara kita seakan ada sekat; itulah yang ku rasaJika pemikiranku di atas salah tentang kita maka jawablah atau biarkan saja jika memang tak berarti apa-apa
Tapi, ingatlah doa ini atas namamu selalu ada untuk kebahagiaanmu dan yang terbaik untukmu
Jika benar pemikiranku dan apa yang ku rasa, dengan rasa terima kasih dan syukurku bisa mengenalmu
.
.
Aku pamit undur diri
.
-RTawary
Catatan 09.03.2019 | Di setiap tapak kaki