Malam itu, kuberharap akan ada sajian dari malam tentang indahnya bulan dan gemintang tapi apa bisa dikata bahwa kabut perlahan datang menutup rerimbun daun hijau beserta bulan dan gemintang serta menyisahkan batas pandang pada gelap yang dibungkus kesunyian
Tapi, niatku tak terbantahkan untuk menyeduh dan menyesap secangkir kopi ditengah kesunyian hutan
Setiap sesapan mendarat dilangit-langit mulut diikut oleh hangatnya api yang menerangi gelap yang tiada menghapus sepi, sepi tetap ada menjadi sajian utama malam itu
Malam semakin larut dan ingatanku pun semakin liar menghantarkanku pada kisah yang tak juga rampung, pada sebuah cerita yang masih saja berada diambang pertanyaan; tentang apa sebenarnya kita dan untuk apa?
Gelisah dan rahasia yang masih menggeluti dada tak pernah redah walau pahit nikmatnya kopi dan hangatnya api menjadi teman kesunyian malam itu
Entah mengapa aku ingin saja di situ tetap menikmati tiap sesapan kopi, hangatnya api, dan kabut yang mengitari setiap sudut ruang yang sunyi
Jawabannya; mungkin aku masih betah dengan hadirnya ingatan tentangmu kasih, masih betah dan ingin menghadirkan dirimu di sini menemani serta menanti jawaban yang akan kau beri
.
.
Aku masih betah walau hanya sekedar berteman bayang hadirmu
.
.
-RTawary
Catatan, 02.03.2019 | Di setiap tapak kaki | 02.45 WITA