Jalanan kampus begitu lengang, nampak seorang perempuan duduk di bangku taman di bawah pepohonan rindang
Tak ada sesiapa yang menemaninya, yang ada hanya bunyi kicauan burung dan daun yang beradu seirama angin, kulit putihnya seakan tak mau kalah menantang gemilang cahaya, bermata sipit dengan rambut panjang yang terurai dimainkan angin; betapa nakalnya angin itu
Tapi, entah mengapa ia terlihat murung dan bisu; dalam pandangku
Aku tahu ia sedang tidak bisu, ada suara dari hati dan pikiran yang saling beradu dan ia tak menampakannya kepada sesiapa yang melihatnya seakan tak ingin orang lain merasakan hal yang samaAku duduk tak berada jauh darinya, ia menoleh dan memanggil. katanya ada yang hendak ingin ia ceritakan
Langkahku mendekatinya tapi wajah ini tak mampu untuk menatap sedihnya; terlalu pilu yang ia rasakan
Benar saja bahwa hatinya sedang terluka menunggu sebuah jawab yang tak kunjung terungkap tentang hubungan yang masih mengambang di antara tanah dan udara yang nyatanya ia sudah berusaha tapi seakan lelaki yang dicintainya tak menganggap ia ada
Entahlah, aku hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Maaf jika hanya itu yang aku bisa dan aku tahu lukamu tak sesederhana itu. Tapi, mengapa kau bagi luka itu denganku?: batinku
Biarlah, biarlah aku tak tahu yang jelas bisa menghibur dan mengusap air matamu sudah cukup bagikuTapi ingatlah cukup kali ini saja air mata itu jatuh, aku ingin melihat senyummu
Terlalu sia-sia jika kau jatuhkan air mata itu kepada ia yang tak mencintaimu dan terlalu sia-sia kau habiskan waktu dengan meratapi ia yang tak memperdulikanmu; katakuwanita seindah dirimu telah begitu banyak menanggung luka; cukuplah, kau pantas merasakan bahagia
.
-RTawary
Manado, 19.03.2019 | Di setiap tapak kaki
KAMU SEDANG MEMBACA
Disetiap Tapak kaki
Novela JuvenilSegala pandang cerita dalam setiap tapak kaki