Darka melangkah ragu untuk masuk kedalam kamar sang kakak—Ryan—Dengan membawa sebuah kotak p3k nya yang ia bawa ditangannya. Ia paham bagaimana sifat Ryan yang terkadang kasar, tidak mau menerima Raka sebagai Adik. Tapi, terkadang juga sebaliknya. Dia bisa menjadi orang yang paling khawatir dengan Darka tanpa ucapan."Kak?" Panggilnya dengan nada memelan.
Ryan yang sedang asik membaca novel, bersantai dengan nyaman diatas ranjangnya. Kini terpaksa menoleh karena mendengar suara yang tidak asing lagi di telinganya.
Diam-diam Ryan mendengus sebal, ia sengaja menulikan pendengarannya.Masa bodo, pikirnya.
Sudah Ryan tebak apa tujuan anak itu datang ke kamarnya. Meskipun timbul sedikit rasa khawatir, Ryan tetap mencoba untuk tidak peduli.
"Kak, Arka itu —" Darka menahan ucapannya. Ia sangat takut jika Kakaknya akan memarahinya lagi. Padahal tujuannya datang kesini hanya ingin dibantu untuk mengobati lukanya. "Itu, Kak ... Boleh minta tolong?"
Hening. Ryan tidak menganggapnya ada.
"Kak ... " Darka berjalan mendekati kearah Ranjang. Berdiri sembari memegangi kotak P3k yang entah sampai kapan akan di gubris oleh Ryan.
"Kak, tangan Arka sakit ... Besok Arka sekolah, Mamah lagi nggak ada di rumah. Arka juga takut kalo minta tolong sama Ayah, " ujar Darka sedikit memohon. Darka sangat suka sekali memanggil dirinya dengan sebutan 'Arka' tidak tau darimana sebutan ini berasal. Pokoknya Darka hanya berani menunjukkan dirinya sebagai 'Arka' hanya kepada Kakaknya.
Darka sangat berharap jika Ryan bisa merasa sedikit kasihan dengannya. Pasalnya kedua tangannya memang benar-benar terasa perih dan sakit, jadi agak sedikit sulit untuk mengobati sendirian. Jika hanya salah satunya yang sakit, maka Darka juga tidak akan perlu meminta tolong kepada Kakaknya seperti saat ini.
Darka sudah tau bagaimana resiko
nya. Ia pasti akan kena bentakan dari mulut Ryan yang pedas. Tapi tak apa, yang penting tangannya bisa terasa lebih baik, agar ia besok dapat bersekolah."Kak." Dengan sedikit nada pasrah, Darka terus memanggilnya.
Ryan sangat ingin marah, ia sangat terganggu dengan kedatangan Adiknya. Membuat mood-nya menjadi berantakan, sudah susah payah Ryan tidak ingin emosi. Namun akhirnya ia harus emosi juga. Ryan bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju kearah pintu kamar.
Brak!
Pintu kamar itu terbuka lebar dengan menimbulkan suara yang cukup kencang. Dengan wajah datarnya, Ryan menatap sosok Darka yang hanya diam menatapnya, jelas adiknya pasti sedang ketakutan. "Keluar dari kamar gua!" bentak Ryan tanpa basa-basi.
"Bantuin Arka ngobatin—"
"Keluar!"
"Sebentar aja, Kak ... "
"Gua bilang keluar. "
Darka menatap kearah tangan-tangan yang perih. "Iya ... Maaf, Kak."
Jauh di dalam lubuk hatinya Darka menangis. Beberapakali ia mencoba untuk tidak membawa perasaan apa yang sudah orang-orang disekitarnya lakukan, namun tetap tidak bisa. Darka hanya meminta hal kecil, hal yang bisa saja Kakaknya lakukan tanpa usaha. Tapi, ternyata memang sangat sulit untuk kakaknya lakukan.
"Lo denger nggak?! Jangan sampe gua seret lo keluar dari kamar gua!"
Darka mengangguk cepat, ia harus segera keluar dari kamar ini. Takut jika nanti Kakaknya akan semakin marah dengannya. Dengan langkah kaki yang sedikit gontai, ia akhirnya benar keluar dari kamar sang Kakak.
Pintunya kembali tertutup rapat, bahkan terdengar suara Ryan yang mengunci pintunya dari dalam."Kak, Arka butuh kakak sebentar, " gumamnya pelan.
🛵
Bunda —Giyara— harus menghela napas kesekian kalinya. Matanya yang cantik kini harus ikut menatap sendu wajah kesakitan sang anak. Pasalnya, Ibu mana yang tidak ikut merasa sakit saat harus melihat anaknya kesakitan.
Bunda mencoba untuk tidak mengomeli Darka, meski rasanya ia sangat ingin memarahi anak itu."Udah berapa kali Bunda bilang, hm? jangan macem-macem kalo Bunda lagi nggak ada di rumah. Begini kan jadinya."
"Iya, maaf, Bunda."
"Kenapa nggak minta tolong ke Kakak? Kakak ada di rumah kan? Kalo nggak segera di obatin nanti bisa bengkak, lho? tambah sakit."
Darka menerima banyak omelan. Membuatnya menjadi merasa bersalah karena telah membuat Bunda khawatir. "Bunda, sakit ...."
"Ya, tahan. Semoga besok sembuh ya. kalo besok masih sakit, izin aja. Nggak usah sekolah dulu," ujar Bunda sembari mengolesi tangannya dengan salep.
Anak itu hanya mengangguk pelan, ia sedikit melupakan rasa sakitnya. Karena yang lebih sakit lebih banyak di batinnya. Tidak ada satu pun obat yang bisa menyembuhkannya. Di pikir lagi, jika Darka bisa memilih maka Darka akan memilih untuk sakit di fisiknya saja dibandingkan harus pada batinnya.
Tatapannya beralih pada kedua tangannya yang kini memerah. Sebenarnya ini tidak akan terjadi jika Darka bisa lebih hati-hati lagi dalam bermain basket. Tadi Darka benar-benar tidak sengaja memecahkan vas bunga kesayangan Ayah, sehingga bunga yang berada di dalam vas-nya pun ikut berhamburan. Ayah marah besar, dia menarik Darka masuk kedalam rumah. Entah sengaja atau tidak, Ayah malah menyiram Darka dengan teh panas yang baru saja dia buat.
Darka takut, ia tidak sempat menghindar. Tangannya refleks melindungi wajahnya lebih dulu dibandingkan anggota tubuhnya yang lain. Akibatnya kini kedua tangannya terasa perih akibat teh panas itu.
"Jangan di ulangin lagi ya, Darka, anak ganteng, kesayangan Bunda .... "
"Iya, Bunda. Maaf."
Bunda tersenyum tipis, lalu tangannya mengelus rambut Darka dengan kelembutan. Mencoba menenangkan putranya yang pasti masih ketakutan. "Nggak apa-apa, ada Bunda kan yang sayang Darka?"
Kenyatannya Darka tetap sendiri.
🛵
Ryan terdiam beberapa saat. Hatinya sedikit merasakan penyesalan, rasanya ia ingin berteriak kencang karena seharusnya ia tidak menyuruh adiknya keluar kamar. Kini sudah tengah malam dan rasa penyesalan
nya baru datang. Bukankah harusnya sejak awal? ada yang salah dengan dirinya.Ia menatap layar laptopnya dengan perasaan gundah. Semua tugas kuliahnya sudah ia kerjakan, meskipun masih ada beberapa yang belum selesai. Akhirnya Ryan memutuskan untuk pergi ke kamar sang Adik. Tidak untuk bertemu dengannya, hanya untuk melihat keadaannya.
Sesampainya di dalam kamar Darka yang hening. Ryan menatap kearah Adiknya yang sedang terlelap diatas ranjang tanpa selimut. Bukan tanpa, namun selimutnya jatuh di lantai. Ryan kemudian mengambilnya, lalu tanpa sengaja melihat wajah Darka yang begitu sembab.
"Nangis lagi? Perasaan gua nggak liat Ayah ke kamarnya buat marah-marah." Ryan langsung meletakkan selimut itu tepat diatas tubuh Adiknya. "Awas lo nangis gara-gara gua."
Ryan beranjak keluar kamar. ia sempat berpikir sejenak Darka memang menangis karenanya.
******
jangan lupa vote dan comment yah🛴