Ryan mengadahkan tangan kanannya kearah langit. Rintik hujan sudah mulai terasa turun, di tambah terpaan angin yang berhembus lumayan kencang membuat Cowok itu mendengus sebal. Di tangan kirinya Ryan memegang sebuah bola basket entah punya siapa, Ryan pegang saja agar terlihat keren. Padahal sejujurnya, Ryan sudah mengeluh ingin segera pulang agar bisa berbaring di ranjang kesayangannya sambil bermain handphone."Yah, motor gua pasti basah," ucap Gara yang baru saja datang, beserta Afif yang setia mengikutinya dari belakang.
"Helm-nya juga basah, Gar. Alamak bau apek." Afif menepuk jidatnya. Sebelum akhirnya ia mengunyah kembali jajan cimolnyang ada di tangannya.
Ryan diam memandangi lapangan sekolah yang mulai basah. Hujannya juga mulai turun semakin deras. Banyak teman-temannya yang memilih meneduh terlebih dahulu didalam kelas, ataupun nekat pulang dengan berhujan-hujanan. Dan Ryan mulai terasa jenuh karena ia harus menunggu hujan sedikit reda. Jika di paksa pulang Ryan akan kebasahan.
"Main bola basket ajalah. Siniin bola basketnya, yan." Gara menyuruh Ryan memberikan bola basketnya. Karena mereka bertiga sama-sama jenuh menunggu hujan. "Bakalan awet kayaknya nih. Kayak cinta Angel ke Ryan."
Sial. Ryan kesal saat mendengar nama Angel. Namun, juga ikut menertawainya.
"Ini bola kalo kena kepala orang bisa-bisa kita jadi mochi di tempat."
"Apa hubungannya, anjir?"
"Nggak ada." Afif menjawab enteng.
Ryan mulai memantulkan bola-nya di lantai. Meskipun ia tidak terlalu jago bermain basket, namun dengan bermain ini bisa membuat rasanya jenuhnya berkurang.
"Gar, ambil bola-nya."
Gara dengan sigap mengambil alih bolanya. Saat Gara ingin melempar kembali ke arah Ryan, bola itu justru terlempar cukup jauh dan Ryan tidak mampu mengambilnya. Bola-nya kini benar terhenti hingga di tengah lapangan. Sesaat Ryan menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar sembari menyalahkan Gara.
"Gar, sumpah lo ngerecokin banget."
Gara hanya tertawa tanpa rasa bersalah. Wajah Ryan langsung terlihat badmood. Bahkan untuk menoleh ke arah Gara pun Ryan tidak ingin. "Terus gimana gua mau ngambil bolanya? mana nggak ada yang bawa payung lagi."
"Yaudah, biarin aja, Ryan. Sekalian bola-nya mandi dulu."
Ryan kembali merasa jenuh. Pandangannya tetap menatap kearah bola basket yang tidak bergerak sedikitpun di tengah lapangan. Ryan mendengus, tanpa ia sadari Darka, Adiknya. Sudah berdiri tepat di sampingnya.
Sejak kapan?
Pipinya yang terlihat chubby saat tersenyum membuat Ryan dengan malas memutar bola matanya. "Lo ngapain disini?"
"Kata Bunda, Arka boleh pulang bareng sama Kakak."
"Ya, boleh. Tapi, ambilin bola basket yang di sana dulu. Baru nanti pulang sama gua."
Gara langsung menyenggol lengan Ryan. Seolah berkata dengan 'lo serius nyuruh adek lo?' Meskipun bukan sekali dua kali Ryan seperti ini. Tetap saja, apa yang dilakukan Ryan salah.
Ryan tidak peduli.
"Hujan, Kak ...."
"Yaudah, jangan pulang sama gua."
Tanpa jawaban lagi. Darka berlari kearah tengah lapangan. Mengambil bola sesuai apa yang di suruh oleh Sang Kakak. Tidak apa meskipun nanti ia akan sakit atau di marahi oleh Bunda karena basah kuyup. Darka tau, Bunda pasti akan marah nanti, sedangkan tadi Bunda menyuruhnya pulang bersama Ryan tujuannya agar tidak kehujanan. Saat berusaha mengambil bolanya, Darka tidak sengaja sedikit terpeleset yang menyebabkan kakinya kini terasa nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark(a)
Ficção AdolescenteYang Darka ketahui ; Kakak akan selalu menyanyanginya.