Pagi ini tidak ada yang aneh selain Darka yang tidak ada di kursi makannya. Ryan tebak, Darka mungkin masih sakit sehingga dia izin untuk tidak bersekolah hari ini. Bunda juga terlihat biasa saja, tidak ada perbincangan apapun mengenai kejadian semalam.Apa hanya Ryan saja yang mendengarnya?
"Sarapan yang banyak, ya, Ryan. Biar semangat sekolahnya. Kan kalo banyak tenanga makin semangat," ujar Ayah sembari terkekeh. Bunda ikut tersenyum menyetujui ucapan Suaminya. Dengan sigap wanita itu menambah sendokan nasi goreng ke piring Ryan.
Ryan tidak berekspresi banyak selain diam. Ia masih kalut dengan kejadian malam tadi. Entah apa yang Ayah lakukan kepada Adiknya, itu cukup membuat Ryan kesal. Akhirnya m, Ryan memilih bangkit dari kursi.
"Mau kemana, Sayang?" tanya Bunda.
"Ngambil barang yang ketinggalan di kamar, Bun." Tanpa menunggu tanggapan dari kedua orang tuanya. Ryan lari menaiki tangga satu per satu hingga ke arah kamarnya. Tepat di hadapan kamar Adiknya, tanpa mengetuk. Ryan langsung mendorong pintu itu agar terbuka. Ia hanya memastikan saja, bukan karena khawatir.
"Kak? tumben ke kamar gua? kenapa?" ujarnya dengan suara lemah. Sebelum Ryan yang benar-benar bertanya.
"Lo sekolah?" Ryan sedikit terkejut saat melihat Darka sudah rapih mengenakan seragam sekolahnya. Namun, dari wajahnya dia tetap tidak bisa berbohong jika dia sedang sakit. Bukan hanya pucat, wajahnya juga terlihat sembab.
"Iya, Ayah udah selesai belum sarapannya? gua mau berangkat sekarang. Cuman takut kalo masih ada Ayah, " ucap Darka.
"Masih."
"Begitu, ya."
"Bunda bilang lo nggak sekolah dulu." Bohong. Padahal Bunda tidak bilang apapun tadi.
"Pengen nggak sekolah dulu, Kak ... Sakit."
Ryan paham itu.
🛵
Setelah bel pulang sekolah berbunyi tanpa berlama-lama lagi Ryan bergegas keluar kelas. Bahkan kedua sahabatnya pun terlihat heran karena tidak biasanya Ryan ingin cepat pulang. Karena rasa penasarannya, Gara mencoba bertanya.
"Tumben lo buru-buru gini?"
"Gua capek mau tidur." Sebenarnya bukan ini alasannya. Ryan hari ini banyak berbohong sepertinya. Biar saja, toh jarang-jarang Ryan berbohong.
"Percaya sama Ryan, ibarat lo percaya angin bisa di genggam," ucap Afif dan diiringi oleh tawa Gara. Sementara Ryan hanya terkekeh malas menanggapi celotehan sahabatnya.
Tanpa menunggu lagi. Ryan segera belari kearah parkiran motor. Memakai helm full face-nya, lalu melajukan motornya dengan kekuatan penuh agar bisa segera sampai ke rumah. Tidak peduli sudah berapa banyak kendaraan yang mengklaksoninya agar Ryan lebih berhati-hati lagi dalam berkendara.
Sesampainya di rumah Ryan langsung membuka pintu. Matanya menangkap sosok Sang Adik yang sedang mengepel lantai. Dengan Ayah yang sedang duduk di sofa, fokus pada laptop di hadapannya. Ryan nampak tau apa yang terjadi. Setelah paham, ia melangkah mendekati ke arah Darka.
"Udah ngepel kamar gua belum?" tanya Ryan yang langsung mendapat jawaban gelengan kepala dari Adiknya.
"Belum?" Ryan memastikan. "Ayah, dia belum ngepel kamar Ryan kan?"
Ayah menoleh kearah kedua anaknya yang sedang saling berhadapan. Raut wajah Ayah seketika berubah sinis saat menatap ke arah Darka. Perasaan tidak suka itu jelas sangat terlihat, Ryan selalu bisa merasakan amarah Ayah. "Kamu gimana, sih?! Sana bersihin kamar Kakak kamu dulu!"
Dengan berat hati Darka mengangguk. Ia harus membawa ember berisi air kotor ini untuk menaiki tangga yang membuatnya semakin merasa lelah. Sedaritadi Darka hanya sedang menunggu Bunda pulang dari rumah Tante Irma. Jika ada Bunda saat ini, jelas Bunda tidak akan setuju ia melakukan pekerjaan rumahnya. Tapi, tidak banyak yang bisa Darka lakukan. Kalau ia menolak, Ayah akan habis-habisan memarahinya.
Setelah sampai di depan kamar Ryan. Mereka berdua nampak saling menatap sekilas sebelum akhirnya suara pintu yang terbuka dari kamar itu mengalihkan pikirannya. Darka menghela napas panjang, ia kembali menenteng ember air kotor pel-annya dan ikut masuk ke dalama kamar.
"Lo mau ngapain?" Ryan menghentikan langkah kaki Darka seketika.
"Mau itu ... nge-pel, Kak."
"Nggak usah, mending lo sana masuk kamar lo. istirahat, tidur. Kalo Bunda tau lo nge-pel pas lagi sakit gini malah nanti gua yang dimarahin."
Mendengar ucapan Kakaknya membuat Darka mematung sekejap. Ia semakin bingung harus bereaksi seperti apa. Satu sisi ia merasa senang, di sisi lain Darka khawatir jika Ayahnya akan memarahinya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark(a)
Ficção AdolescenteYang Darka ketahui ; Kakak akan selalu menyanyanginya.