Hari senin dan seperti biasanya setiap sekolah pasti akan melaksanakan upacara. Apalagi, upacara juga sangat di wajibkan bagi setiap murid tanpa adanya alasan tertentu. Yah, mungkin jika memang sedang ada alasan terdesak saja di perbolehkan, seperti sakit.Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Hampir semua murid sudah mulai berkumpul di lapangan. Begitupun dengan Darka yang masih sibuk mencari dimana topi dan dasinya yang semalam ia masukan ke dalam tas. Tidak mungkin tidak ada razia oleh guru BK nantinya. Namun, dengan napas yang sedikit berat ia terdiam sejenak. Merasakan suhu tubuhnya yang tiba-tiba terasa begitu dingin. Darka berani bilang menyesal karena ia tidak mendengarkan ucapan Bundanya untuk izin tidak bersekolah hari ini. Benar kata Bunda, ia demam sepertinya.
Rino—teman sekelasnya—menyadari raut wajah Darka yang tidak biasa. Rino mulai menegurnya agar Darka lebih baik izin tidak ikut upacara dan beristirahat di UKS. Pasalnya siapa yang tidak khawatir melihat wajah temannya yang begitu pucat dan lemas.
"Lo mending ke UKS aja, Ka. Biar gua izinin ke Pak Dipto nanti. Liat muka lo pucet banget kayak orang nggak makan setahun," ujarnya.
"Upacara sebentar doang. Gapapa, gua bisa tahan."
"Lo bandel kalo di bilangin. Awas lo nanti ya kalo pingsan. Gua suruh anak PMR buat nggak ngangkat lo ke UKS. Biar lo mandiri jalan sendiri ke UKS." Setelahnya Rino hanya tertawa kecil, meninggalkan Darka yang sendirian di dalam kelas.
Darka kembali terdiam. Takut ia akan menyesal lagi karena tidak mendengarkan ucapan Rino. Topi dan dasi sudah ia temukan, tapi niatnya untuk turun melalukan upacara masih tertahan. Darka memilih duduk sebentar di bangkunya, sedikit memijat dahinya yang sedikit terasa pening. Rasanya semua terus berputar, tenggorakannya pun sakit.
Ia memejamkan matanya, berharap semua rasa sakitnya benar-benar bisa menghilang dalam sekejap. Meski rasanya mustahil. Suara Pak Dipto—Guru Seni Budaya—yang berat sudah berkoar lewat mic untuk menyuruh para murid agar segera bersiap di lapangan karena upacara akan di mulai.
Akhirnya, mau tidak mau Darka tetap memaksakan dirinya untuk upacara. Daripada nanti ia akan kena hukuman dengan Pak Dipto jadi lebih baik ia mengikuti saja upacara hari ini. Darka bangkit dengan langkah gontai, membawa topi dan dasi yang sama sekali belum terpakai di tubuhnya.
"Masuk, nggak usah ikut upacara."
Darka menoleh. Suara yang sudah sangat tidak asing itu kini menggema di ruangan kelasnya. Itu suara Kakaknya, Ryan. Belum Darka jawab, Ryan sudah mendorong tubuhnya dengan kasar agar Darka benar-benar tidak keluar dari kelasnya.
"Nggak usah maksain. Bunda bilang lo sakit, kalo udah tau sakit, ya, udah. Nurut apa kata orang buat nggak usah upacara. Kalo lo maksain lo cuman bisa jadi beban." Ryan semakin menyudutkannya. Sedangkan, Darka tidak memiliki keberanian untuk menatapnya. ia menunduk menatap kedua sepatunya, meski kepalanya semakin terasa pening saat mendengar omelan sang Kakak.
"Jangan marah ... "
Ryan mendengus. Cowok itu melipat kedua tangannya di dada dengan angkuh. "Gua nggak marah, Arka. Dengerin gua kalo lo nganggep Kakak lo. Jangan bikin gua kesel, masih pagi."
Dengan segala kepasrahannya. Darka memilih berbalik, kembali berjalan menuju bangkunya. Sesekali ia menatap kearah Kakaknya yang masih tak bergerak menatapnya sinis.
"Nih!" Ryan melempar sebungkus roti rasa keju kearah Darka. Niatnya baik, meskipun terkadang caranya terlihat agak kasar. Tapi, Darka tetap bersyukur.
Brak!
Pintu kelasnya di tutup kasar oleh Ryan. Tanpa basa-basi apapun lagi Darka di tinggalkan sendirian di kelasnya. Sebungkus roti di tangannya cukup membuat Darka tersenyum dan bahagia.