Surga dunia.

717 21 3
                                    

Langit seolah terbata memangku bulan,bintang gemintang menyumpal seluruh keindahan atap alam,taburan awan laksana sayap putih mengalir terempas Sepoi kecil angin, larut menelan ramai, sunyi mendekap bumi,mata hanya mengedip bertahan melepas lelah,suara suara denting mangkok penjual bakso menyisir tepi jalan kecil sesekali bersaing derita bambu ditepi sungai, sesekali bunyikan irama ilalang bergoyang di tanah liat.

Lampu di setiap rumah masih menyala,tapi jendela jendela telah tertutup rapat,jalan beraspal batu tampakkan warna hijau kelam,deru kendaraan sedikitpun tak terdengar,semua tlah terkunci dibalik pagar,jalan teramat lengah,arus sungai sanggup menembus dinding rumah tebal, dinding tak bercat,batu merah masih telanjang menyusun bangunan,atap dari genteng tipis berlumut,jika buah mangga jatuh,satu genteng pecah seketika.

Jendela tak berkaca,dari dulu kata bapak sudah berplastik , pintu tanpa gagang hanya berslot kancing, lantai murni tanah,jika mendongak keatas,atap seolah plastik tak nampak genteng,banyak genangan air seolah perut ibu yang mengandung, nyamuk dipersilahkan masuk,kasur bapak buang,tak ada yang menjahit waktu sobek,kapas berserakan, sekali coba dimasukkan,tapi berkali kali keluar beterbangan,hanya dipan berusia dua puluh tahun kokoh di kamar sendirian.

Bapak selalu duduk diatas tikar ruang depan, dengarkan lagu lagu dari radio usang,Bapak selalu berbaring dengan mata mengawang-awang,entah apa yang dibayangkan dalam setiap lamunan yang dia punya, lagu yang bapak dengar selalu dendang kenangan di Shinta FM. Bapak biarkan radio bersuara sampai adzan subuh berkumandang,kalau tubuh bapak tak berbaju perlihatkan dadanya yang bidang.

Satu yang tak pernah bapak beritahu,isi lamunan yang setiap malam bapak gambar, telinganya jelas mendekat ke radio,tapi pikirannya melayang entah kemana, hatinya pergi entah terbawa siapa. Bapak begitu nikmat mendengar, di atas tikar tubuhnya tak merasa dingin meski tertempa angin,tak merasa sakit,nyamuk seolah bintang,ia tak peduli,radio Philips keramat selalu jadi teman sunyi malamnya.

Bapak tak pernah mau diganggu, seolah ia beritual. Bapak terkadang tersenyum sendiri,tapi jelas tidak gila,bapak punya gerakan yang selalu dilakukan, bapak sering memijat dua matanya pelan dengan jemari kanan,entah menangis atau mengantuk tak ada yang tau,bapak berbantal lengan begitu nikmat malam, entah hujan atau kedinginan, bapak selalu melakukan hal yang sama.

Tak banyak kata keluar dari mulut bapak, untuk berkata "iya" enggan,bapak lebih sering mengangguk, tapi bapak sering marah, kadang menampar. Bapak tak pernah cerita secuilpun, apapun,diam itu berlian baginya, tapi hakikat bapak bukanlah pendiam, dari dua matanya jika melamun seolah tajam memandang, pipinya tegas, bapak seolah mengubur sesuatu, bahkan anaknya, tak pernah tau bagaimana gambaran ibu kandung yang melahirkannya di bumi Ruajurai, Lampung.

Febi Saputra nama lengkap anaknya, sedari kecil ia hidup bersama bapaknya, ia tahu nama ibunya Halimatus sa'diah. Tapi hanya nama itu yang Febi tahu, tak lebih, sedikitpun,bapak selalu diam jika Febi minta cerita tentang ibunya,meski secuil. Febi pernah ke Liwa sendirian, ke tempat nenek,Febi beranikan diri meski bapak tak peduli,jalan ke Liwa sangat berliku,curam menukik, tinggi menanjak, terhimpit tebing dan jurang. Febi hanya ingin cerita ibunya, tapi nenek juga tak banyak cerita,hanya mengatakan "Ibumu orang yang sangat baik, beruntung kamu memiliki ibu sepertinya."

Bagi Febi tak ada kata beruntung,Ibu meninggal waktu melahirkannya, Febi belum sempat rasakan hangatnya pelukan ibu,belum pernah meski sejenak, sedari kecil tinggal dengan nenek,umur 4 tahun bapak membawa pulang ke Pringsewu, ke desa kuncip Febi sering menyebut, hampir setiap hari bapak mencaci, memukul,  menendang, Febi sudah puas kekerasan.

Febi tak pernah melawan, pipinya sudah tebal, tubuhnya sudah bergaris karena sabetan gagang sapu, hanya karena kesiangan, dijemput Bu guru. Waktu kelas 2 SD, bapak sangat marah seolah mengamuk, sejak itu bapak selalu siram Febi dengan seember air jika pagi masih tergeletak di dipan.

29 juzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang