Surat pertama.

110 6 0
                                    

Semalam Febi bermalam di rumah Rudi, rumah yang selalu terbuka lebar untuk Febi, kapanpun. Ayah ibunya Rudi sudah tahu dan mengerti. Selepas subuh Febi pangku kaki kanan Rudi, disampingnya sebaskom air hangat dan lap, kain kasa siap dibuka, perlahan Febi melepas ikatan, sedikit demi sedikit luka tampak putih menganga tanpa darah.

"Kapan kamu bisa melihat Rahma lagi Feb?" Rudi tahu bayangan Febi ada pada Rahma.

Sejenak Febi berhenti, "Aku sendiri tidak tahu," Febi pasrah, "Mungkin seminggu setelah ini, atau sebulan, mungkin juga satu tahun."

"Kamu rela menunggu hanya untuk pertemuan Feb?" Rudi heran dengan Febi, ia telisik setiap guratan temannya.

"Tak banyak wanita seperti dia Rud. Bukan kecantikan nya, tapi segala kebaikan & kelembutan yang dimilikinya," Febi mengenang, "Dia seperti seorang ibu, Kakak, atau adek."

"Dari mana kau tahu? Mengenal saja baru kemarin," Rudi meletakkan bantal dibalik punggung.

"Cukup bagiku saat pak Kyai sedikit ceritakan perihal Rahma," Febi mulai menali perban seperti kata Rahma, dibelah ujungnya menjadi dua, baru diikat, "Aku sudah bersyukur bisa tahu namanya."

"Kamu yakin suatu hari bisa jadi temannya? Bisa berbincang dengannya?" Rudi ingin lebih tahu, keyakinan seseorang akan menjadi titik awal perjalanan.

"Aku yakin dia mau berteman denganku, tapi aku ragu ia Sudi berbincang sepatah dua patah kata padaku," Febi melepas kaki Rudi dari pangkuan.

"Kamu harus sabar Feb, kalau kamu sudah meyakini, jangan lupa untuk bersabar dalam menghadapi cobaan," Rudi memberitahu.

"Do'akan aku Rud," Febi meminta.

"Selalu Feb, selalu..." Rudi mengangguk.

Hari ini tidak ikut jadi kuli angkut, kakinya belum sanggup, mungkin seminggu baru bisa bekerja bersama. Febi pergi kerumah pak Hendra, ia tak sendiri, sudah ada pengganti, pak Taufik, buruh Serabutan yang tak tahu besok kerja atau menganggur. Anak pak Taufik dua, Tubuhnya lebih pendek dari Febi, berkumis tipis, tubuhnya kurus. Sudah lama Febi mengenal pak Taufik, waktu menikah Febi dan Rudi menjadi penerima tamu.

Semen sudah diangkat, bukan batu seperti hari lalu, bertata seakan kasur didalam bak truk. Febi tak bisa tidur seperti pak Taufik, sembari nikmati perjalanan Febi jaga selembar kertas tergores tulisan tangannya, tanpa amplop, hanya dilipat 3 kali. Ia ingin berikan pada Rahma, sebelum subuh ia menulis dikamar Rudi, sebelum Rudi bangun, sebelum Rudi tahu. Febi lupakan ingatan akan Bapaknya, lupakan pertanyaan akan ibunya, mungkin ia akan temukan jiwa ibu pada diri Rahma.

Surat diselip dibalik dada. Waktu sampai di pesantren, pondok tampak lengang, hanya satu dua yang berjalan diantara empat asrama panggung. Rumah pak Kyai sepi, pintunya tak terbuka, terlalu pagi Febi datang, tidak seperti sebelumnya, matahari baru naik, belum memuncak turun, awan masih berarak bak ikan dilangit biru.

Berdua mulai turunkan semen, pak Taufik diatas, Febi dibawah memanggul dengan punggungnya, berpuluh-puluh sak semen menguras tenaganya, semua ditumpuk didekat pasir, sesekali Febi lihat pintu rumah pak Kyai, jika ada yang keluar membawa nampan ia akan jatuhkan semen dan berlari mendekat memberi secarik kertas tertulis nama Febi Saputra.

Sayang pintu tak kunjung dibuka, santriwati baru pulang dari sekolah, satu persatu masuk asrama, ada yang Tsanawiyah, Aliyah. Tapi mata Febi terus berusaha mencari Rahma, bahkan Febi berhenti bekerja sekedar untuk mencari Rahma, tapi Febi tak menemukannya. Dimana ia?

Febi kembali memanggul semen, "kita duduk disana pak," Febi menunjuk teras rumah pak Kyai, dekat pot bunga, diujung anak tangga tempat sandal tamu dilepas.

29 juzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang