Sembaris Do'a.

143 6 0
                                    

Gelap mulai hinggap di pelataran langit, semerbak harum dingin hujan menyusup disela ruang ruang sempit alam, setetes dua tetes jatuh dari dedaunan, air di sungai cokelat keruh deras, bulan tak tampak, sekali angin bertiup badan serasa hidup di kaki gunung, lampu lampu mulai berpijar, tapi atap depan rumah Febi masih gelap. Badan Febi basah, ia berjalan menginjak genangan air, sesekali tubuhnya menggigil, pintu rumah perlahan dibuka, dimatanya bapak sedang duduk termenung di kursi berkaki tiga tersandar di dinding, satu kaki nya ditekuk.

Febi terbirit ke belakang, air di bak kosong, ia pergi ke belakang rumah menimba, bibirnya mulai bergetar, suara percikan air dari ember terdengar lebih keras dari hembusan nafas, tubuh Febi yang tak lagi berbaju perlihatkan ototnya, sepuluh kali ia menimba, sebelum masuk Febi guyur kepalanya.

Rumah seperti kota mati, tak ada sapaan, sahutan, tak ada suara selain dari kamar mandi, Bapak terus termenung sendiri, Bapak mereka lamunan dengan sesuatu yang tak pernah Febi mengerti. Selesai mandi Febi mendekat ke sisi bapaknya, "Aku mau pergi ke makam ibu besok pagi," Febi berdiri menyandar dinding, dua tangannya mendekap dada.

Bapak seketika menoleh, "Kamu mau berkeluarga?" Bapak sepertinya tak menyangka.

Febi menggeleng.

"Pasti ada sesuatu yang mendorong mu," bapak tak menatap.

"Hari ini aku mengenal perempuan yang mungkin apakah juga akan bersyukur jika mengenalnya," Febi rapikan rambut sebahunya.

Antara Febi dan Bapak dari dulu jika bicara tak ada rasa hormat, seperti teman biasa. Bapak terlalu sering memukul, Febi sudah terlalu sakit, semua hanya membiarkan Waktu yang menjadi penengah dan ruang sebagai penyemaian.

"Kenapa kamu berkata seperti itu?" Bapak mengangkat satu kakinya.

mungkin menurut bapak biasa, tapi menurutku dia baik, dia cantik, dia santun pak, aku sudah bosan setiap hari disiram, ditampar, dimarahi. Aku heran, kenapa bapak tidak bosan melakukan itu semua pada anak sebesar aku?" Febi ingin tahu.

Bapak pejamkan matanya, tak membuka, mungkin ia menyesal, tapi Febi tak punya prasangka itu, Bapak tak punya penyesalan. Dengan suara berat bapak ingin tahu sesuatu, ia benarkan duduknya, "Siapa namanya?"

"Rahma," Febi duduk di tanah.

Termenung bapak fikirkan sesuatu, dua kakinya diangkat, "Kamu sudah berteman dengannya?"

Febi menggeleng, "Rahma tidak mengenalku,"

Bapak termangut mangut, "Kalau suatu hari kamu bisa berteman, jangan kecewakan dia, berikan semua yang terbaik darimu agar dia tahu kebaikan darimu..."

Febi memotong, "Rahma jauh lebih baik dariku, melakukan itu sama artinya aku siram lautan dengan garam."

Bapak tersenyum, senyum yang tak pernah tampak sedari dulu, senyum tampan yang pudar karena lamunan panjang, "Jangan berkata seperti itu, kamu mengenal perempuan sama artinya belajar mengenal lautan, keindahannya, kesunyiannya, kedalamannya, semakin kau Selami, semakin kau sadar bahwa kau hanya manusia bodoh yang tak tahu apa apa, kau akan temukan segala hal yang membuatmu kadang tertawa, kadang tersenyum, kadang menangis, kadang merana."

Bapak begitu fasih menjelaskan, Febi dibuat diam, dibungkam, entah dari mana Bapak belajar, Febi ingin lebih panjang mendengar, ingin lebih panjang ia bercakap meski ia harus duduk di atas lantai tanah, tapi bapak sudah nyalakan radio nya, sudah mulai membuka tikarnya pertanda tak bisa lagi didekati untuk disapa meski oleh anaknya sendiri.

Febi tinggalkan bapak, tapi ia kembali ke hadapan bapaknya, "Makasih pak."

Tak ada balasan, Bapak sudah mulai nyalakan radio nya, bapak sudah asyik dengan dunianya. Gontai Febi berjalan menuju kamar, sembari fikirkan untaian kata dari bapak, Febi berbaring melamun mengingat bagaimana seorang Rahma berjalan, bertutur kata tak keras, bersuara bak nafas, tersenyum segar tanpa ingin perlihatkan kecantikan.

29 juzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang