Sholat 5 waktu.

94 2 0
                                    

Seminggu berlalu, tak kunjung Febi dapatkan balasan dari Rahma, ia entah mengapa begitu berharap untuk bisa mendapatkannya, ia ingin sekali terus bisa dekat dengannya. Di rumah ia tak lagi pedulikan Bapaknya, ia biarkan terus melamun, ia biarkan Bapak berkutat dengan radio tuanya. Ia sendiri kadang duduk di lubang pintu menghitung bintang, memikirkan bagaimana untuk bisa kembali berjumpa dengan Rahma.

Febi tutup pintu rumah, ia berjalan ke rumah pak Hendra selepas isya, ia datangi rumahnya, kebetulan pak Hendra duduk di teras bersanding segelas kopi, ia menyapa sebelum Febi sampai, "Febi!"

Febi tanpa ragu menarik satu kursi, duduk dekat pak Hendra, "Assalamualaikum..."

"Waalikum salam. Ada apa Feb?" Pak Hendra menyeruput secangkir kopi.

"Apa bapak masih mengangkut barang ke pondok lagi?"

"Mmm... Bapak sudah tidak kesana lagi," pak Hendra meniup segelas kopi nya.

Masa sudah tidak kepondok lagi pak?" Febi menarik kursinya lebih dekat dengan pak Hendra.

"Kamu sepertinya ingin sekali datang ke pondok itu?"

"Aku ingin bertemu seseorang pak," Febi tak bisa sembunyikan.

"Siapa dia? Mungkin bapak bisa bantu," pak Hendra rapikan sarungnya.

"Namanya Rahma, dia salah satu santriwati di sana," suara Febi merendah.

Seketika pak Hendra menimbang...lalu menggeleng, "Bapak tidak bisa Feb, kamu lebih baik temui saja pak Kyai, orang nya baik, jujur saja padanya, utarakan maksudmu baik baik."

Febi membeku. Haruskah ia bertemu pak Kyai untuk temui Rahma? Haruskah ia katakan jika ia meminta surat balasan? Sepertinya tak pantas. Febi undur diri dari rumah pak Hendra.

Tak tahu kemana arah yang akan ia tuju, tak tahu pada siapa ia mengadu, Febi hanya berjalan tanpa arah tujuan, terus berjalan menyusuri gang kecil gelap kelam, melangkah lambat, berusaha mencari jalan keluar. Ebi ke satu jembatan kecil, duduk sendirian, pandangi langit meminta jawaban, pandangi bulan meminta sebuah senyuman, dengarkan angin meminta bisikan. Sendirian Febi melepas kesunyian, duduk tak lekang terjebak kesunyian.

"Feb!" Tiba tiba ada sepeda berhenti didepannya, sepeda berkeranjang, Mutia ada di hadapannya, ia tak turun dari sepeda.

Febi tak balas sapaan, Mutia turun dari sepeda, duduk bersebelah Febi, "kamu kenapa Feb?"

"Seperti apa perempuan jika melihat laki laki seperti aku Mut?" Febi ingin tahu, ia tak lagi punya ketegaran.

"Mereka ingin lebih dekat denganmu," Mutia singkat menjawab, dari kecil ia sudah berteman dengan Febi.

"Kamu tidak sedang menghiburku?" Febi ingat semasa kecil dulu, hanya Mutia dan Rudi yang selalu memuji agar Febi tersenyum.

Mutia berdiri menghadap Febi, "Tidak Feb, coba kamu ingat, perempuan yang dulu ingin dekat denganmu, semasa SMP, SMA, apa kamu bisa menghitungnya?"

Febi mematung, "Aku sedang ingin punya teman yang bisa aku bagi cerita, yang bisa aku luapkan seluruh keluh hatiku. Aku ingin memilikinya."
Febi tertunduk, rambutnya yang panjang seolah menutup wajah, "Tapi sepertinya dia tak sudi punya teman sepertiku."

Mutia baru sadar, Febi ingin dekat dengan seorang perempuan. Duku ia menjauh, entah apa alasan yang kini terbesit sampai ia ingin sekali bisa berteman dengan perempuan selain Mutia, "Siapa dia Feb?"

"Namanya Rahma, dia hidup di pesantren. Mungkin ia gadis mulia sedangkan aku begitu rendah dibanding dirinya, tapi apa aku tidak bisa berteman dengannya? Aku..." Kata kata Febi terputus, "Aku tidak pernah mendengar suara seperti dia, tidak genit, tidak menggoda, halus," Febi mengenang, "Aku ingin sekali berteman dengannya."

29 juzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang