3|TIGA

30 4 0
                                    

Cahaya yang ia pancarkan dari mata hazel dan rambut kecoklatannya, melebihi cahaya matahari yang hadir sepanjang hari.

-oOo-

Abdan membantu anak kecil itu menaiki taksi online yang baru saja ibunya pesan. Sebelumnya, ibunya berterimakasih pada Abdan dan Byanca karena telah menolong putrinya.

Tadinya beliau memberikan imbalan berupa cek dengan nominal uang yang tidak sedikit. Tapi, dengan halus Abdan menolaknya.

Di balik ekspresinya yang kalem nan cool itu, rupanya Abdan berusaha menyembunyikan rasa sakit yang ada di punggungnya. Ia pun berusaha agar baju robeknya tidak kelihatan.

Ibu dan anak kecil itu akhirnya mulai menghilang dari pandangan mereka berdua. Dengan perasaan kacau balau Byanca menatap Abdan yang terlihat enggan menatapnya balik.

"Hm, tadi gua harus nyelametin bocah itu. Gua pikir lu masih kuat buat diri sendiri. Lu udah gede,"

Byanca mendecak sebal. Semakin dipikir, semakin ia menebak kalau kata-kata itu adalah kata lain dari permintaan maaf. Namun, mana bisa seorang Abdan yang keras itu mengucapkan kata maaf. Itulah pemikiran Byanca.

"Iya. Gua ngerti," balasnya.

Byanca memutar bola matanya. Seketika ia merasa geli dengan perkataannya. Biasanya ia selalu ingin menang bicara dengan orang lain. Ini tidak seperti Byanca yang biasanya.

"Ayo lanjut," ajak Abdan sambil memungut tasnya yang tadi ia jatuhkan. Tas ransel hitam tersebut tidak ia kenakan melainkan dijinjing dengan tangan kanannya. Mungkin faktor punggungnya yang sedang cedera.

Bicara soal bagaimana mereka melanjutkan perjalanannya, lagi-lagi Abdan berjalan mendahului Byanca. Seolah satu langkahnya Abdan adalah seratus langkahnya Byanca.

Byanca pun kali ini tidak peduli tertinggal oleh Abdan. Lututnya yang nyut-nyutan membuatnya risih dan tidak menghiraukan Abdan.

"Abdan,"

"Hm," jawab Abdan tanpa menoleh ke belakang dan terus berjalan.

"Itu, e-eum punggung lu sakit?"

"Gak begitu,"

"Yakin? Coba gua cek,"

Byanca memasang ekspresi serius dan jari telunjuknya bersiap untuk mendarat di bagian baju Abdan yang robek. Sebelum memencet jarinya di punggung Abdan, ia baru menyadari kalau punggung Abdan lebam.

Hal itu tidak membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengecek Abdan. Ia memencet luka itu dengan cukup keras.

Abdan tidak menjerit, marah, atau menoleh ke arah Byanca. Ia hanya mengusap punggungnya dan berkata, "Udah hampir deket,"

"Iya, gua tau!"

'Duh, gua gak tau harus apa. Apa gua bawa dia ke rumah sakit ya? Tapi ga yakin juga dia bakalan mau.' Batin Byanca.

"Abdan, sorry ya. Coba aja kalau gua gak minta lu anter gua gini. Pasti lu gak bakalan kenapa-napa. A-apa mau gua bawa ke rumah sakit?"

"Gak apa-apa. Ini cuma luka kecil,"

-oOo-

Mereka sudah memasuki perumahan dimana Byanca tinggal. Abdan melihat-lihat nomor rumah yang merupakan nomor rumah Byanca. Hingga saking asyiknya mencari, ia tidak memperhatikan jalanan yang ia lewati.

Now You Know, You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang