PROLOG

24 3 0
                                    

AS IF SHE WERE A SUN

Oleh : Nichole A

PROLOG

Maria Hubbert.

Nama yang tertulis di batu nisan masih menoreh luka mendalam di hati Adam Hubbert. Di sinilah Maria tidur dalam keabadian lima tahun lalu, Woodland Cemetery Syracuse. Meski tempat itu terlihat indah dan ditumbuhi pepohonan rindang, tetap saja Adam masih belum rela melepas kepergian Maria.

Adam Hubbert berdiri di samping pusara. Punggungnya tak lagi tegap seperti dulu. Air matanya telah kering. Ia tidak bisa lagi mengingat berapa malam yang telah dilalui dengan mata yang terus terjaga. Setiap kali ia mencoba untuk memejam, bayang-bayang Maria selalu tampak. Perempuan itu memandangnya dengan penuh rasa cinta. Bisa saja ia menganggap diri sudah gila, lantaran hingga saat ini suara Maria masih terekam di indera pendengarannya. Ketika sadar bahwa itu semua imajinasi saja, Adam tidak bisa lagi merasakan apa pun. Ia lupa bagaimana rasa makanan yang sudah masuk ke dalam perut.

Setelah terdiam cukup lama, ia bersimpuh. Sembari tersenyum getir tangannya terulur mengusap batu nisan perlahan, seakan tengah menanyakan kabar. Terasa dingin saat Adam menyentuhnya, monumen granit berwarna abu-abu yang menjadi tanda persemayaman terakhir Maria.

"Tidakkah kau merindukan anak kita? Suzan selalu berkata, sepahit apa pun keadaannya, jangan lupa untuk tersenyum agar kelak kau tidak lagi khawatir kepada kami. Tapi apa yang bisa kulakukan, selain berpura-pura terlihat tegar di hadapan mereka bedua?" Adam menarik tangannya perlahan, pandangannya menerawang jauh ke depan. "Setidaknya Suzan masih menganggapku sebagai seorang ayah, berbeda dengan Judy."

Sejak kepergian Maria, Judy menutup diri. Ia bahkan tidak pernah mau bersikap ramah terhadap adiknya. Tidak ada yang membuat hati orang tua terluka, kecuali saat melihat anaknya berselisih satu dengan lainnya. Adam merasa sangat jauh dari Judy.

"Judy seakan membangun dinding pertahanan dan aku ... seperti orang asing di matanya."

Adam rindu bagaimana putri sulungnya tertawa ketika diajak jalan-jalan keliling kompleks di usia tiga tahun, menangis manja padanya saat terjatuh dari sepeda roda empat, atau bertingkah malu-malu di hari pertama masuk taman kanak-kanak. Judy kecil begitu dekat dengan sang ibu dan ayah. Namun sekarang Judy seakan berbalik memusuhinya. Adam tidak tahu bagaimana harus menghadapi anak remaja, hal itu membuatnya merasa gagal menjadi seorang ayah.

Angin berembus menyentuh kulit, Adam menganggapnya sebagai jawaban dari Maria. Tak memberikan solusi, namun cukup untuk meredam keluh kesah di hatinya.

Adam kembali menatap batu nisan Maria, tersenyum getir dengan mata berkaca-kaca. Jarinya yang bergetar kini menyusuri ukiran nama di batu nisan.

"Seperti yang kau tahu, Suzan anak yang pandai mengendalikan perasaan. Dari luar ia tampak baik-baik saja, tapi sesekali aku memergokinya tengah menangis di dalam kamar sambil memanggilmu. Baik Suzan maupun Judy, sama-sama membutuhkanmu. Sedangkan aku ... tak berarti apa-apa. Kau pusat kehidupan kami selama ini, tanpamu semua terasa mati."

Adam menghela napas panjang. Mungkin Maria sudah bosan mendengar keluhan yang sama, tapi hanya itulah masalahnya hingga saat ini.

Dulu, semua baik-baik saja. Kedua putrinya bahagia. Sejak kepergian Maria, semua berubah. Adam tidak bisa berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi kedua anaknya, meski segala cara telah diupayakan. Seiring waktu, pekerjaan pun menjadi berantakan karena kehilangan fokus. Adam hidup dalam kekosongan.

Ia sudah muak dengan kehidupan. Adam menyerah untuk mendekati Judy dan tidak sanggup lagi berpura-pura tegar di hadapan Suzan, tidak ada seorang pun yang peduli padanya.

Sepintas muncul jalan keluar yang hanya bisa dilakukannya seorang. Mungkin bila ia ikut pergi menyusul Maria, tidak akan berarti apa-apa bagi Judy dan Suzan. Mereka tidak akan merasa kehilangan. Judy tidak lagi membutuhkannya, sedangkan Suzan ... mungkin ada orang lain yang mau berbaik hati padanya.

Ia tidak berarti apa-apa, jika pergi pun ... tidak akan mengubah keadaan.

"Maria, kau telah membawa pergi seluruh hatiku, tidakkah kau ingin mengambil nyawaku?"


Bersambung

#WritingClub, #WCB1,  #Menulis

AS IF SHE WERE A SUNWhere stories live. Discover now