BAB I

14 0 0
                                    

BAB I

Oleh : Nichole A

           Perjalanan dari Maryland menuju Syracuse New York membutuhkan waktu sekitar enam setengah jam dengan mobil pribadi. Kalau saja lalu lintas di salah satu sisi rute 476 lancar, mungkin bisa sampai lebih cepat. Müge Cèlik, perempuan berusia 33 tahun itu hanya diam sambil menatap ke luar jendela selama perjalanan. Dua jam yang lalu, Shane Wilfred menyalakan pemutar musik di tengah kegiatannya mengemudi. Sayangnya, lagu-lagu yang muncul malah membuat kakak tirinya mengantuk, sedangkan Emma yang duduk di sebelah Shane tidak peduli.

          Müge melihat Shane menguap sekian kalinya. Mengemudi selama itu sudah pasti melelahkan, terlebih biasanya Shane tidak pernah bangun pagi. Kali ini pengecualian, demi mengantar sang adik.

          "Kita bisa menepi dulu untuk beristirahat," saran Müge.

          Shane tersenyum. "Sebentar lagi kita akan sampai. Saat pulang, Emma yang akan menggantikanku mengemudi."

          "Kaulah yang menyeretku untuk ikut, aku tidak mau!" ketus Emma.

          "Seharusnya tadi aku pergi ke Baltimore dan naik kereta ke Syracuse. Maaf menyusahkan kalian."

          "Ayah memintaku untuk memastikan kau baik-baik saja, tapi kau menolak bila pergi berdua saja denganku dengan alasan gender. Sebenarnya aku tidak begitu paham dengan apa maksudmu, tapi aku tidak ingin berdebat. Jadi, yang ada di pikiranku saat itu adalah memaksa Emma ikut agar kau mau kuantar."

          Müge belum lama menjadi bagian dari keluarga Wilfred. Dua tahun yang lalu ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang laki-laki Amerika yang sedang berlibur ke Turki. Ia mendukung seluruh keputusan sang ibu, tetapi ia tidak menyangka akan pindah ke rumah ayah tirinya. Sejak saat itu ia memiliki tiga orang saudara dengan perlakuan yang berbeda. Shane sama seperti sang ayah, baik dan perhatian. Emma lebih pada sikap tak acuh, sedangkan Melva yang enam tahun lebih muda dari Müge menunjukkan sikap tak bersahabat. Ia tidak tahu apa yang membuat Melva begitu membencinya.

          Tak lama kemudian, mereka melewati komplek rumah warga dengan suasana yang tenang. Hampir di semua rumah memiliki pohon rindang yang tumbuh di halaman. Jalanan sedikit menanjak.

          "Di depan sana kita sampai tujuanmu," ujar Shane.

          Setelah itu tampak dua buah bangunan yang dipisah dengan lahan parkir luas nan terbuka. Salah satunya adalah bangunan persegi dua lantai dengan tulisan North Side Learning Center di dekat pintu masuk, sedangkan bangunan satunya menyerupai gereja, tinggi dengan atap kerucut berwarna hijau di sisi kiri dan kanan. Ada sedikit pagar hitam di sisi kanan yang melindungi papan putih bertuliskan "Masjid Isa Bin Maryam, The Mosque of Jesus Son of Mary" diukir indah berwarna hitam.

          Müge menatap takjub pada bangunan megah tersebut. Memang tidak sedikit bangunan masjid di Amerika yang dulunya bekas gereja, tetapi masjid ini seakan memiliki jiwa islami dengan tetap mempertahankan arsitektur bangunan aslinya.

          Shane turun setelah memarkir mobilnya, membuka bagasi dan membantu menurunkan barang bawaan Müge. Müge menyusulnya, berdiri di sebelah Shane sembari melihat sekelilingnya.

          "Di mana kau akan tinggal setelah ini?" tanya Shane.

          "Tuan Rayyan berkata bahwa aku akan tinggal di rumah yang memang disediakan untuk perempuan imigran."

          "Müge!"

          Müge menoleh saat seseorang memanggilnya. Laki-laki tinggi dan tegap dengan kulit putih, rambut hitam, janggut dan kumis tipis. Laki-laki itu tersenyum senang sembari berjalan menghampiri.

AS IF SHE WERE A SUNWhere stories live. Discover now