"Kenapa enggak lo kejar, Rin?"
Bukannya bagus kalau Ia sudah tahu apa tujuanku? Jadi aku tak perlu membuatnya merasa aku tak suka dengan perjodohan ini. Bukan karena aku membencinya, bukan, tapi karena aku belum ingin diikat hubungan dengan siapapun.
"Rin! Kejar!" Windi terus berteriak menyuruhku untuk mengejarnya. Namun, aku tidak punya keharusan untuk mengejar dan menjelaskan semuanya pada pria itu. Justru dengan ini aku bisa bernafas lega.
"Rin, kok lo diem aja?"
"Win, gue capek! Gue balik dulu ya, titip absen gue mau langsung kerja."
Windi terus memanggil namaku, sementara aku berlalu meninggalkannya.
Saat di gerbang, aku masih melihat mobilnya terparkir. Aku tidak peduli kalau ia ingin marah padaku. Biarkan saja pria itu melampiaskan amarahnya padaku, jadi aku tahu seperti apa pria yang dijodohkan denganku. Dan aku bisa terus terang untuk memutuskan perjodohan ini.
Aku berjalan melaluinya. Tidak mempedulikan pria itu yang masih ada di dalam mobil. Klakson ia bunyikan saat aku berjalan di depannya. Kurang ajar, bukan?
Langkah kaki kupercepat, tak peduli dengan suaranya yang menyerukan namaku. Tanganku tertahan. Aku menoleh, dan benar saja pria itu kini menggenggam tanganku. Erat sekali sakit rasa genggamannya. Apa ia begitu marah padaku?
"Lepas!"
"Enggak ada kalimat yang mau kamu ucapin buat aku?"
"Bukannya udah jelas? Katamu enggak usah dijelasin lagi."
"Oke, tapi ada kalimat yang harus aku ucapin dan tegasin ke kamu."
"Aku sudah tahu apa yang mau kamu bilang, jadi lepasin!"
Justru pria itu malah makin menggenggam erat pergelangan tanganku. Sakit.
"Aku sudah jatuh terlalu dalam sama kamu, aku enggak peduli kamu mau menjauh atau pergi, aku enggak peduli kalau saat ini kamu belum nerima semua skenario yang udah digariskan Tuhan, tapi aku enggak akan pernah nyerah gitu aja."
Deg.
Bukankah harusnya ia marah padaku? Tapi mengapa ia malah mengungkapkan perasaannya disaat ia sudah ditolak awalnya?
Untung saja suasana depan kampus tak seramai biasanya, kalau ramai sungguh aku malu. Aku merasa diriku sudah jahat sekali padanya.
Ah! Jangan terlena, aku tahu ini hanya akal-akalannya saja. Membuatku seakan terharu lalu luluh pada perasaannya. Aku menghentakkan tanganku. Genggamannya terlepas. Bekas merah melingkar di pergelangan tanganku.
"Apa itu sakit?"
"Enggak usah peduliin aku!"
Meski sudah kubentak ia tidak pergi. Keras kepala sekali pria ini. Apa yang ia inginkan dariku sebenarnya sampai sebegitu kerasnya ia berjuang?
Pria itu menawarkan dirinya untuk mengantarku ke tempatku bekerja. Tentu aku langsung menolaknya tanpa berfikir lagi. Tak mau menyerah ia terus berbaik hati menawarkan tumpangan untukku. Bahkan ia memohon. Seorang pria sepertinya memohon setelah tahu ia sudah ditolak? Bukankah mudah sekali buatnya mencari wanita lain yang bisa ia miliki dan pergi jauh dariku?
"Oke kalo kamu enggak mau aku anter, hati-hati."
#
Seharian ini kerjaku tidak fokus. Semua karena pria itu! Kenapa perasaan tidak enak ini terus melandaku dari awal aku meninggalkannya sampai jam tujuh malam ini? Aku mungkin sudah keterlaluan padanya. Aku memang sudah jahat menyakiti perasaannya. Mau bagaimanapun ia tidak pernah memperlakukanku dengan buruk tapi justru sebaliknya. Aku yang berlaku tidak baik padanya namun ia masih baik terhadapku. Aku bodoh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Pain
FanficPerceraian yang mereka sepakati terancam batal karena kesalahan yang tak sengaja mereka perbuat. Akankah ini menjadi penyesalan yang indah? Mari kita baca kisah dalam dua sudut antara Irene sama Mino ini, ya^^