Chapter 01

40 7 9
                                    

Hola, ini pernah pop-ice posting di akun WP lama. Sekarang di posting kembali dengan revisi seperlunya. Semoga suka ^^

Dilarang keras berkomentar dengan kritikkan pedas !💦





***

Suasana masjid begitu khidmat sore itu. Pasalnya, di waktu menjelang maghrib tersebut banyak anak-anak muda yang khusyu mendengarkan kajian rutin oleh Ustadz yang sering kali mengisi kajian di masjid tersebut.

"Wanita berhijab dan tak berhijab itu ibarat permen yang tertutup dan terbuka. Kira-kira kalian mau yang mana? Permen yang tertutup atau terbuka?" suara berat yang serak, namun begitu berwibawa memenuhi ruangan kala itu.

"Aku pengen yang tertutup lah, masih suci, belum terkontaminasi oleh debu, Ustadz." Arman, salah satu murid yang paling pemilih menjawab.

"Aku juga sama, Ustadz." Sandi berpendapat sama.

"Aku juga." Beberapa remaja juga mengatakan hal yang serupa.

Ustadz Zakaria, namanya. Ustadz yang rela menyisihkan sedikit waktunya untuk memberikan kajian kepada ikhwan yang berada di kompleks tersebut mengangguk tersenyum. Paham dengan pemikiran anak muridnya yang lebih menyukai wanita berhijab. Pernah dengar kalimat 'wanita berhijab belum tentu baik, namun wanita baik sudah tentu berhijab', kan? Itu bukanlah hanya kalimat semata. Sebab  seorang muslimah yang baik adalah wanita yang pandai menjaga aurat, juga mampu menjaga iffah-nya sebagai sosok yang begitu di muliakan dalam Islam. Namun, senyumannya menghilang tatkala pandangannya terhenti pada sosok yang sedari tadi hanya diam. Membuat Ustadz Zakaria heran, sekaligus bingung.

"Kamu mau yang gimana, Lutfi?" tanya Ustadz  kepada salah satu murid kesayangannya tersebut. Ya, Lutfi memang murid kesayangannya. Selain jarang berbicara, Lutfi tidak suka bercanda. Lutfi berbicara seperlunya, sekadarnya.

"Aku mau yang terbuka saja, Ustadz," jawab Lutfi dengan santainya.

Sontak, Ustadz Zakaria terkejut. Murid yang paling mulia akhlaknya diantara para murid kesayangannya adalah Lutfi. Namun, jawaban yang meluncur dari bibirnya benar-benar tak terduga.

"Apa alasanmu, Lutfi?" Ustadz berusaha untuk mengabaikan rasa kecewanya, karena Lutfi adalah pemuda yang suka berfikir sebelum berkata, dan dibalik jawaban itu pasti ada alasan mulia.

"Ustadz, kenapa orang buruk kadang kala berjodoh dengan orang baik?" Lutfi balik bertanya, membuat teman-temannya melayangkan bahasa isyarat kepadanya, sebab berani menjawab pertanyaan ustadz Zakaria dengan pertanyaan pula.

"Itulah keadilan Allah. Orang buruk tak selamanya menjadi buruk, makanya Allah mengirimkan orang baik untuk mendampingi hidupnya dan membantu memperbaiki dirinya. Karena sesungguhnya manusia terlahir dari kondisi suci dan fitrah. Maka, sewaktu-waktu dia akan merindukan kondisi sucinya walau betapa banyak dosa yang dia lakukan. Allah menakdirkan seseorang yang dapat membimbingnya ke jalan yang benar lagi. Sebab, Allah tak akan membiarkan hamba-hambaNya hanyut dalam dosa. Sebegitu Maha Baiknya Allah kepada hambaNya."

Murid-muridnya menggumankan kalimat asma Allah ketika ucapan itu keluar dari mulut sang ustadz.

Mereka menatap Lutfi, menunggu reaksi pemuda berlesung pipi tersebut.

"Tanpa sengaja jawaban saya sudah Ustadz jawab," katanya sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya tanpa yang menawan.

"Maksudnya apa Ustadz?" murid-murid yang lain bertanya keheranan dengan jawaban singkat dari Lutfi.

Ustadz Zakaria tersenyum, hampir tertawa, ia tak menyangka jalan fikiran Lutfi sampai mengarah kesana.

"Jelaskan kepada mereka, Lutfi," titahnya kemudian.

Lutfi berdehem sebelum menjelaskan kepada teman-temannya.

"Permen yang terbuka tidak selamanya dibiarkan terbuka. Betapa banyak manusia yang ingin mendapatkan sesuatu tanpa mau berusaha terlebih dahulu. Menginginkan yang baik-baik tanpa mau tahu ternyata ada juga yang buruk."

" Setiap muslim itu punya hak kepada saudara muslim yang lain, yaitu hak untuk di dakwahi, di ajak kembali ke jalan yang benar. Jika semua menginginkan yang tertutup, maka bagimana dengan yang terbuka? Padahal mulanya, permen tertutup itu dahulu juga terbuka. Setelah melewati berbagai macam proses, akhirnya dia tertutup."

" Sebagai umat muslim, kita harus saling menyangga, saling memberikan kekuatan kepada saudari-saudari kita yang masih suka mengumbar auratnya diluaran sana. Mereka butuh teman untuk menuntun kearah kebaikan, mereka butuh sandaran, butuh pondasi juga." Lutfi menarik nafas sebelum melanjutkan.

"Lantas, bagaimana jika mereka di abaikan? tak dihiraukan? Bagaimana jika kita hanya memilih yang tertutup sementara yang terbuka ditelantarkan. Padahal kita tahu kondisi mereka, untuk berubah butuh kesabaran extra, ke-istiqomahan yang tinggi. Jika kita ingin para akhwat diluaran sana agar berhijab syar'i, kita harus mau menuntun mereka, bukan mengacuhkan."

"Sebab kita juga akan dimintai pertanggung jawaban diakhirat nanti, seperti kisah seorang alim ulama yang hidup bersama masyarakat yang suka bermaksiat. ketika meninggal, ulama tersebut yang pertama kali masuk neraka. Alasannya sederhana, karena dia terlalu sibuk beribadah dan mengabaikan orang-orang disekitarnya."

"Maa syaa Allah," kalimat yang bersifat memuji mereka ucapkan dalam hati, karena Lutfi bukan sosok yang suka akan pujian. Jawaban yang diberikan Lutfi membuat mereka menunduk malu.

Matahari senja sebagai saksi atas rasa malu para remaja tersebut. Sehingga, sang senja pun malah bersembunyi di balik awan. Seperti ikhwan yang berada di ruangan itu, menyembunyikan rasa malu mereka dengan senyuman.

"Kalian mengerti, kan?" tanya Ustadz Zakaria pada murid-muridnya.

"Alhamdulillah, Ustadz." Jawab mereka serempak sambil mengucap syukur karena mendapat ilmu baru yang banyak sore ini.

Ustadz tersenyum puas. Lagi-lagi, Lutfi membuat ia tercengang. Tak heran jika Ustadz Zakaria menganggap Lutfi seperti anaknya sendiri.

Matahari sudah kembali ke peraduannya, kicauan burung malam pun perlahan mulai terdengar, aktivitas manusia pun perlahan merenggang, sebagai pertanda sholat maghrib.

"Sebelum kajian ini kita akhiri, mari sama-sama mengucap doa kafaratul majelis. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika. Wassalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaykumussalaam warahmatullahi wabarakatuh."

Masjid Ar-Rahman itu dipenuhi dengan suara balasan salam kepada Ustadz Zakaria.

Semua orang di ruangan itu bangkit dari posisi duduk mereka, mereka semua berwudhu. Dengan teratur mengantri dengan rapi, tanpa perlu ditegur jika desak-desakkan.

Ustadz tersenyum manis kearah Lutfi lalu menepuk bahunya.

"Lutfi, silahkan kumandangkan adzan untuk mengajak para saudara-saudara kita sholat maghrib."

"Iya, Ustadz." Lutfi segera meraih pengeras suara dan mengisinya dengan suara lantunan adzan merdu miliknya.

Langit senja sebagai saksi bisu diantara manusia bahwa yang mengumandangkan adzan itu benar-benar sudah tobat dari kehidupannya yang penuh maksiat.

Ketika selesai mengumandangkan adzan, Lutfi segera berdoa dengan khidmat dalam hati.

Sholat dua rakaat, sebelum akhirnya lantunan iqomah pun terdengar.

*****


Salam ukhuwah ^^
Vote and coment jangan lupa!

Istiqomah di atas WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang