Chapter 03

16 5 9
                                    


Dilarang keras berkomentar dengan pedas!







*****






Latifah mondar-mandir di jalan. Ia duduk di koridor yang entah bangunan apa. Sudah beberapa kali ia melamar kerja di restaurant, mall, cafe dan lainnya namun ditolak mentah-mentah dengan alasan tidak menerima karyawan.

Latifah mulai putus asa. Ia kelaparan dan kehausan.

Sungguh tega sekali bibinya yang memaksa Latifah melakukan ini semua. Latifah harus mendapatkan pekerjaan, jika tidak bibinya pasti akan marah-marah dan mengungkit semua yang ia berikan kepada Latifah.

"Mbak mau ikut majelis taklim ya?" tanya seseorang.

Latifah terkejut dan menoleh ke sumber suara. Tampak perempuan dengan busana yang hitam-hitam menutupi seluruh tubuh mereka, kecuali mata. Latifah benar-benar terkejut dengan penampilan mereka. Beberapa kali Latifah melihat orang yang seperti ini, namun tak pernah mengajak Latifah bicara.

"Mari ikut kami, Mbak."

Belum sempat ia menjawab, tangannya sudah ditarik oleh mereka.

Latifah merasakan tubuhnya melemah dan keringat dingin mengucuri tubuhnya.

Latifah takut di kelilingi oleh orang-orang ini. Ia pernah mendengar desas-desus bahwa mereka yang berpakaian seperti ini adalah TERORIS.

Dan Latifah tak ingin organ-organ tubuhnya di jual oleh orang-orang ini.

"Mari masuk, Mbak," dari matanya Latifah dapat mengetahui bahwa perempuan ini sedang tersenyum.

Latifah hanya diam, ingin rasanya ia berteriak meminta pertolongan. Namun, sejauh mata memandang lingkungan ini di penuhi oleh orang-orang seperti ini. Latifah gemetaran membayangkan bahwa dia akan dibunuh dengan tragis oleh para teroris ini.

"Mari masuk mbak, ini adalah panti asuhan Ar-Rahman. Mbak bisa melihat banyaknya anak-anak di dalam," perempuan itu meyakinkan Latifah.

Latifah sangsi atas apa yang diucapkan orang tersebut. Jangan-jangan itu hanya modus supaya mereka dengan mudah mebjebak Latifah. Mereka menuntun Latifah yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Astaga, tunggu dulu? Jadi bangunan yang ia jadikan tempat istirahat ini adalah masjid? Huah, ini salah Latifah. Ia sendiri yang masuk ke tempat ini tanpa memperhatikan lebih jelas lagi, bahwa bangunan ini memang bangunan masjid.

Latifah belum pasrah namun tak bisa berbuat banyak selain menuruti, dalam hati dia berdoa meminta perlindungan kepada Allah.

"Eh, Tifa!"

Latifah terkejut begitu seseorang memanggil namanya, ia mendongak.

"Mbak Zahra?" seru Latifah saking senangnya melihat wanita paruh baya yang menyebut namanya barusan. Ia menghambur ke pelukan sosok yang ia sebut Mbak Zahra tersebut. Mbak Zahra balas memeluk Latifah dengan hangat, mereka saling melepas kerinduan.

"Umi kenal sama dia?" tanya wanita yang sedari tadi memegang tangan Latifah. Dari matanya Latifah bisa tahu bahwa ia terkejut.

"Iya, ini Latifah, gadis yang tinggal di kampung. Kamu kok sama Latifah?"

"Iya Umi. Tadi Fatimah liat Latifah sendirian, kayak lagi kebingungan gitu, kirain Latifah mau ikut taklim, jadi disamperin aja deh."

Oh, perempuan itu namanya Fatimah. Teman-temannya dibelakang tersenyum kearah Latifah dan Mbak Zahra. Latifah bisa lihat mata mereka menyipit sedikit.

"Maasyaa Allah, kenalan dulu dong kalo gitu." Seru Mbak Zahra.

Latifah pun menjabat tangan mereka satu persatu dengan erat. Tangannya tadi sempat dingin, tapi sekarang sudah baik-baik saja. Mengingat pikiran buruknya kepada Fatimah dan teman-temannya itu, Latifah hanya bisa tersenyum, menyembunyikan rasa malunya.

"Yaudah kamu ikut kajiannya, biar Latifah sam Umi saja."

"Baik Umi, Assalaamu'alaykum."

"Wa'alaykumussalaam."

Mbak Zahra menuntun Latifah untuk masuk ke dalam rumah yang lumayan besar namun sederhana.

"Mbak, tadi itu siapa?" tanya Latifah penasaran.

"Anaknya Mbak." Jawab Mbak Zahra dengan senyum.

"Mbak punya anak? Tifa benar-benar gak tahu mbak."  Tifa sangat malu membayangkan yang tidak-tidak tadi. Ternyata Fatimah adalah anak mbak Zahra. Selama  ini, Latifah tidak pernah melihat sosok yang seperti Fatimah dirumah Lutfi, dulu.

Mbak Zahra tersenyum dengan ekspresi terkejut dari Latifah.

Mbak Zahra adalah pengasuh Lutfi. Ketika Lutfi SMA, mbak Zahra entah pergi kemana.

"Lutfi gimana kabarnya?" tanya mbak Zahra.

"Gak tahu Mbak. Tifa udah lama gak ketemu sama dia. Lutfi udah jahat Mbak. Tifa mau move on sama Lutfi," jawab Latifah dengan wajah lesu. Mbak Zahra bagi Latifah bukan orang asing lagi, makanya dia dengan mudah menceritakan masalahnya kepada Mbak Zahra. Mbak Zahra juga dulu sering menasehati Latifah jika sedang dijahili oleh dua sepupunya. Mbak Zahra akan membujuk Latifah bersama Lutfi, hingga Latifah berhenti menangis.

Mbak Zahra tersenyum penuh arti. "Yaudah, biar mbak bantuin Tifa move on sama Lutfi deh."

"Mbak serius? Itu kan cuma masalah sepele mbak." Latifah tak percaya.

"Itu bukan masalah sepele, Tifa. Itu masalah besar yang tak diketahui," jawab Mbak Zahra dengan serius.

Mereka sampai diruang keluarga. Latifah memperhatikan sekeliling. Beberapa benda dengan keramik terpajang rapi diruangan ini. Aroma lavender menyeruak, memanjakan penciuman Latifah. Rumah besar dengan gaya klasik ini begitu wangi. Latifah sangat menyukai aroma rumah ini. Selama beberapa saat Mbak Zahra membiarkan Latifah memandangi rumahnya dengan kagum.

"Ngomong-ngomong Tifa kok ada di sekitar sini?" mbak Zahra memecah kesunyian yang sempat tercipta. Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari bibir Mbak Zahra.

"Tifa nyari kerja Mbak. Tifa mau ngelamar kerja. Tapi sampe siang gini Tifa ditolak mulu Mbak," curhat Latifah dengan lesu. Mbak Zahra bisa melihat kekecewaan yang dalam terpancar dari wajah gadis remaja tersebut.

Mbak Zahra berfikir sejenak.

"Emang Tifa mau kerja disini bareng Mbak? Jagain anak-anak panti," tawar Mbak Zahra kepada Latifah.

"Eh? Boleh Mbak?" Latifah bertanya tak percaya.

Wanita paruh baya itu kembali tersenyum.

"Mau mau Mbak," Latifah menjawab dengan semangat. Ia sangat menyukai anak-anak.

"Tifa mau kan memenuhi syarat-syaratnya?" tanya mbak Zahra sangsi.

"Syaratnya apa Mbak?" Latifah bertanya dengan heran.

"Sebentar Mbak jelasin. Tifa makan dulu ya."

Mbak Zahra menarik Latifah keruang makan. Latifah menurut, perutnya benar-benar minta diisi. Sebelum makan, Latifah sangat ingin menanyakan tentang sesuatu.

"Mbak, Tifa mau tanya deh," kata Latifah yang sedang membantu mbak Zahra menyiapkan peralatan makan.

"Mau tanya apa?"

"Mbak kenapa Fatimah pake pakaian kayak gitu? Mbak juga pake pakaian yang kedodoran banget," tanya Latifah dengan takut-takut.

"Tifa makan dulu ya, sehabis itu Mbak jelaskan," mbak Zahra tersenyum. Ia tak marah dengan pertanyaan Latifah barusan.

Mbak Zahra tersenyum melihat Latifah yang sedang makan dengan lahap. Sejauh yang ia tahu, Latifah adalah anak yang baik, suka membantu orang lain. Itulah yang membuat Lutfi menyukai Latifah, dulu. Tapi jika sudah berkaitan dengan Lutfi, Latifah akan berubah menjadi gadis yang cengeng. Ia sendiri tidak pernah memarahi Latifah yang selalu merepotkan Lutfi. Bahkan malah prihatin, di usia yang masih begitu muda, Latifah harus menjalani kehidupan yang keras. Ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, lalu tinggal bersama bibinya dengan kelakuan bar-bar.

Mbak Zahra juga tahu kehidupan Latifah bersama bibinya. Ia yakin, Latifah adalah gadis yang mau diajak ke jalan kebaikan.

*****

Istiqomah di atas WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang