"Lo baik-baik saja?"
"Em."
"Lo masih ngerasa pusing?"
"Em."
"Lutut lo gimana?"
"Em."
Adit memandang Ryan yang masih terlihat berpikir, entah dia mendengarkan pertanyaannya atau tidak.
"Lo mau makan?"
Akhirnya Ryan mengalihkan tatapannya dan memandang Adit dengan kening mengernyit. "Gue hanya terbentur, Dit. Gue nggak sakit parah. Gue masih bisa melakukan semua sendiri."
"Well," Adit mengingat-ingat kejadian tadi, dimana Aurel adalah satu-satunya orang yang menganggap kecelakaan yang dialami Ryan adalah sesuatu yang sangat fatal. Perempuan itu sangat panik dan marah pada pegawai UKS. Tapi membicarakan soal Aurel pada Ryan langsung? Adit masih tak berani.
"Seharusnya kita sekarang lagi perayaan. Tapi justru lo berada di sini. Kayak orang sakit." Adit menatap perban yang melingkari kepala Ryan.
"Kepala gue nggak sengaja kebentur pemain lawan. Dia tadi nggak apa-apa, kan?"
"Iya, dia baik-baik saja. Dokter tadi juga bilang tidak apa-apa. Bahkan tak ada jahitan. Hanya luka kecil. Well, hanya satu orang yang berpikir lo bisa mati karena kepala lo berdarah—" Adit mengamati Ryan lamat-lamat.
"..."
"Tadi Kaisar yang nerima pialanya. Dan lo nggak ikut foto. Tapi nggak apa-apa. Semua orang tahu perjuangan lo kok."
"..."
Kemudian dengan ragu-ragu, Adit menambahkan, "Alden juga menonton tadi—"
"..."
"Apa mereka pacaran, Dit?" tanya Ryan kemudian. Tentu saja yang dia maksud adalah Alden dan Aurel.
Adit menggeleng. "Gue nggak tahu,"
"Mereka terlihat berpacaran. Kemana-mana selalu bersama. Ke kantin, jalan setiap malam, ke lapangan—" Ryan kemudian terdiam. "Alden sangat menyukai Aurel dulu—ah tidak, sampai sekarang. Mungkin itu sebabnya Aurel menerimanya."
"So, why do you care so much?"
"Gue hanya berpikir mereka pasangan serasi. Jika nggak ada gue mungkin mereka sudah bersama sejak lama."
"Tapi Aurel—setelah semua yang terjadi—care banget sama lo. Lo nggak lihat gimana paniknya dia tadi?"
"Dia bilang gue nggak pantas buat dia, Dit. Gue nggak selevel sama dia."
"Yan, mungkin saja saat itu Aurel bilang gitu hanya karena dia sedang marah—"
"Gue merasakannya sejak awal, Dit. Ibu benar—sejak dulu selalu mewanti-wanti gue kalau suatu saat jika Aurel sembuh dia mungkin bakal ninggalin kita. Dan terbukti—"
"Ini semua terjadi karena dia pikir lo nggak suka sama dia—"
"Tapi seharusnya rasa kekeluargaan itu masih ada, Dit. Tapi apa buktinya? Dia dengan mudah menyingkirkan gue dari kehidupannya dan bilang kalau gue nggak selevel."
"Yan," Adit tidak tahu lagi harus bicara apa.
"Gue udah memikirkannya secara mendalam." Ryan mengalihkan tatapannya. Keluar jendela asrama. "Nggak ada jalan kita kembali. Mungkin ini akhirnya. Toh, gue memang nggak cinta sama dia dari awal. Hanya kasihan. Dan seharusnya rasa kasihan gue nggak layak, karena levelnya di atas gue."
"..."
"Semua sudah berakhir."
"..."
"Gue bakal ikhlas, nggak bakal lagi memikirkannya. Kita hanya orang asing. That's it. Very easy."
YOU ARE READING
HONESTLY, NO US
Teen FictionAurel lelah hidup dalam kepura-puraan. Ia ingin kabur dari dunianya yang menyedihkan.