Ia sangat merindukan Ryan.
Aurel bergumam. Waktunya tak banyak dan ia sangat merindukan laki-laki itu. Mengobrol bersama, jalan bersama, ke sawah bersama---okay, mungkin bukan status pacar karena Ryan sudah memiliki Natasha dan ia sudah memiliki Alden. Mungkin ia bisa menyambung lagi atau menyambar lagi penawaran Ryan untuk menjadi saudaranya....
Tidak.
Aurel membantah pikirannya sendiri. Mungkin begini lebih baik. Kemudian dengan pemikiran seperti itu akhirnya Aurel mengalihkan pandangan. Jika ia dekat dengan Ryan, mungkin muncul lagi keinginan untuk hidup bertahan lama. Dan ia sama sekali tidak mengharapkan itu. Ia ingin cepat mati, kalau bisa sekarang.
"Rumah gue deket sama sawah." kata Ryan kemudian.
"Gue pengen banget ke rumah lo, Yan." sambung Natasha.
"Biasa saja, Nat. Hanya sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah."
"Sama kayak orangnya, biasa." balas Alden sinis. Entah mengapa tiba-tiba memulai konfrotasi.
Ryan menghela nafas panjang.
"Al, kita udah lama nggak ngobrol bareng." timpal Adit berusaha menengahi.
"Ya, banyak hal sudah berubah. Tapi lo masih aja jadi cecunguk Ryan."
Tubuh Manda menegang. Ini bom waktu yang ia bicarakan. Akhirnya Aurel menengahi dengan berkata, "Oh ya, Al. Nanti ada acara main gitar. Kamu main ya,"
Kening Alden mengernyit. "Ngapain aku main?"
"For me, please."
"Aku nggak mau kalau kamu nggak nyanyi."
"What?"
"Aurel bisa nyanyi?" sambung Ai.
"Dia cerita pernah ikut les vokal waktu kecil."
Tubuh Ryan menegang. Ia tidak tahu soal itu. Kenapa Alden tahu?
"Tapi itu udah lama banget. Aku udah nggak pernah nyanyi lagi. Lagian dulu itu fokusnya nggak hanya nyanyi, Al. Aku lebih sering les piano."
"Perfect. Kamu bisa main piano sambil nyanyi."
"Nggak ada piano."
"Aku bisa datangin langsung."
"You're impossible. Apa yang aku minta cuma sederhana, main gitar, kenapa jadi bawa-bawa piano?" gerutu Aurel tak jelas.
Alden tertawa kecil melihat kekesalan Aurel.
"Lo juga bisa main piano, Rel?" tanya Adit.
"Wow, perfect."
"Yap, gue juga mikir gitu."
"Udah pinter, menang olimpiade, bisa nyanyi dan piano pula."
"Nggak kok. Gue les piano sama vokal karena dipaksa Papa aja."
Agak hening karena ini pertama kalinya Aurel membicarakan Papanya. Bahkan tubuh Ryan menegang. Aurel sendiri bersikap sangat biasa. Banyak hal yang terjadi dalam hidupnya membuatnya bisa mulai agak bersikap santai sama masa lalunya.
"Papa lo galak, Rel?" tanya Citra ragu.
Aurel mengangguk. "Banget."
"..."
"Gue sering dipukul Papa saat kecil." tambah Aurel mengenang. "Gue emang anak nakal."
"Do you?" tanya Ryan kemudian.
"Apa? Nakal?" Aurel balik bertanya.
"Dipukul."
Aurel diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Em."
YOU ARE READING
HONESTLY, NO US
Teen FictionAurel lelah hidup dalam kepura-puraan. Ia ingin kabur dari dunianya yang menyedihkan.