10. Sisi Lain (3)

206 33 224
                                    

Dimas lebih dulu membuka pintu besar yang terbuat dari kayu itu, lalu mempersilakan Irina untuk melangkah lebih dulu. Tepat seperti dugaannya, ia segera melihat balkon yang tidak terlalu luas di sana. Namun, Dimas menarik tangannya untuk berjalan ke arah kanan.

Ada sebuah tangga tanpa pembatas yang permukaannya hanya di balur dengan semen biasa. Dimas menuntunnya untuk menaiki tangga itu. Meski sedikit ketakutan, Irina tetap melangkahkan kakinya untuk memijaki satu-persatu anak tangga.

Sampai pada anak tangga terakhir, ia berdiri tepat di atas rooftop gedung. Senyum manis secara otomatis terbentuk melalui kedua sudut bibirnya. Matanya berbinar melihat keindahan kota Jakarta dari sini.

Kakinya bergerak dengan sendirinya untuk menepi. Gadis itu mulai larut dalam pikirannya. Tangannya bertumpu pada pembatas. Dari sini ia dapat menikmati keindahan langit sore ditemani semilir angin yang dengan lembut menerpa wajah cantiknya.

Saat sedang asik menantikan terbenamnya matahari, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Refleks, Irina menoleh ke kiri. Ia mendapati sepasang mata indah tengah menyipit dibarengi dengan senyuman manis khas milik Dimas Mahessa. Pria itu menempelkan kaleng soda dingin pada salah satu pipi Irina.

Dimas memegang dua kaleng soda di tangannya. Meletakannya satu pada tembok pembatas, dan membukakan yang satu lagi untuk Irina. Mereka menikmati satu kaleng soda ditemani embusan angin sore, dengan pemandangan kota Jakarta di atas rooftop.

Beberapa saat lagi matahari akan terbenam. Dipadu dengan semburat warna jingga dan biru tua yang saling beradu pada langit sore, menciptakan pemandangan yang indah. Namun, keindahan itu tidak dapat menarik perhatian Dimas. Karena untuk saat ini, ia lebih memilih menikmati pandangan mata cantik yang tersenyum cerah di sebelahnya.

Saat Irina menoleh, kedua mata mereka itu bertemu. Saling tatap untuk beberapa detik. Kemudian, dengan kompak keduanya berbalik menatap matahari yang sudah hampir tidak terlihat. Tampak rona kemerahan menghiasi wajah mereka.

Dimas mencoba untuk terlihat tenang di depan Irina. Masih dengan kaleng soda di tangan kirinya, ia memasukkan tangan kanan pada saku celana seragam sekolahnya. Matanya menatap lurus ke depan. Terlihat berpikir sejanak sebelum ia memulai pembicaraan.

"Makhluk cerewet itu ... Danessa," ucapnya tanpa menatap Irina. Irina tampak terkejut mendengarnya, itu seolah Dimas menjawab semua rasa penasarannya selama ini.

Dimas tetap terlihat tenang, sorot matanya menerawang ke sembarang arah seolah ia tengah mengingat suatu kejadian. Kemudian ia tersenyum manis sambil berkata, "Dia yang suka berisik tiap pagi minta berangkat lebih cepet, katanya mau belajar di perpustakaan. Padahal aku tahu dia cuma mau lihat Si Leon tidur di sana."

"Leonard?" tanya Irina meyakinkan.

"Iya, Leonard Dewangga Putra. Aku tahu tuh anak udah terpesona banget sama si cowok absurd itu sejak Leon main ke rumah," jelas Dimas. Seketika Irina teringat Risya yang juga menyukai Leon. Ia tampak berpikir, kemudian menggelengkan kepala mencoba untuk tidak mencampuri urusan orang lain.

"Si Leon emang lagi deket sama Airisya, makanya Danessa nggak mau nunjukkin perasaanya sampai sekarang." Irina membelalakkan matanya, bagaimana bisa Dimas tahu apa yang ada di pikirannya? Itu membuatnya merinding. Namun, menambah tingkat rasa penasarannya terhadap pria tanpa ekspresi itu.

"Jadi, sampai sekarang Leon nggak tahu tentang perasaan Danessa?" tanya Irina penasaran.

Dimas menghela napas sebelum menjawab, "Leon emang cowok absurd yang super nggak peka."

Irina hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Melihat dari tingkahnya, Leon memang terlihat seperti cowok yang cuek dengan keadaan sekitarnya. Namun, Irina tidak ingin menarik kesimpulan lebih mengenai cowok itu dan perasaanya.

Mine(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang