38. Keluarga Huang

78 8 10
                                    

Dimas kembali ke rumah dengaan wajah kusut. Tidak tidur semalaman, kisah asmaranya berakhir, ditambah kenyataan pahit tentang ayahnya yang baru saja ia ketahui. Semua terjadi dalam satu malam. Dunianya berantakan.

Danessa sejak tadi terus menuntut. Bertanya perihal kesimpulan yang didapat dari obrolan kakaknya bersama sang ibu. Namun, tak juga mendapatkan jawaban, membuatnya mengerang frustasi. Ia juga ingin dilibatkan dalam urusan keluarga. Ia kesal lantaran selalu dianggap sebagai anak kecil yang tidak boleh tahu apa-apa perihal orang dewasa.

"Kak, ayolah. Aku udah gede! Aku berhak tahu apa yang terjadi dalam keluarga kita!" serunya dengan nada meninggi menghadap Dimas yang bersandar pada sofa. Meski cowok itu memejamkan mata, ia tahu kakaknya tetap mendengarkan.

Dimas mulai menggerakkan tubuhnya. Duduk tegap menghadap Danessa yang berdiri kesal di hadapannya. Sungguh! Ia lelah. Ia bahkan tidak tahu bagaimana harus mengatakan pada adiknya tentang kelakuan ayahnya.

Tidak mungkin, kan, ia mengatakan yang sebenarnya kalau kedua orang tuanya menikah karena dijodohkan? Kemudian sang ayah menjalin kasih dengan sekretaris pribadinya bahkan sebelum menikah dengan sang ibu. Hingga akhirnya ibunya lelah setelah menutupi semua kebahagiaan palsu itu selama dua puluh tahun pernikahan, dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dimas tidak mau menghancurkan harapan Danessa tentang keluarga bahagia.

"Mama gak nikah sama Om Dewa." hanya itu yang dapat Dimas katakan.

"Hah? Lalu, kenapa Mama bisa jadi wali Kak Leon? Dan Kak Leon juga panggil Mama dengan sebutan Mama," tanya adik Dimas itu bingung. Ia butuh penjelasan lebih.

Dimas menghela napas, mencoba tenang. Ia tidak ingin terpancing dan membeberkan semua masalahnya pada Danessa. Perlahan ia mencoba menjelaskan, "Om Dewa adalah sahabat Mama sejak sekolah. Dan sejak Mama pergi dari rumah, Mama tinggal di rumah Om Dewa untuk sembunyi dari kita semua."

Danessa mengerutkan kening. Ia mencoba mencerna penjelasan kakaknya. Namun, otaknya mulai merangkai setiap kejadian yang ia alami beberapa bulan terakhir.

"Kenapa harus sembunyi? Mama salah apa? Apa yang terjadi? Memang kalau ketemu kita kenapa?" Tidak puas dengan jawaban Dimas, ia mencoba bertanya lebih rinci.

Namun, jawaban Dimas kembali membuatnya kecewa. "Kamu banyak tanya, Sa! Mending sekarang kamu mandi, dan istirahat."

"Kak!" gadis dengan rambut sebahu itu menghentakkan kakinya kesal. Ia duduk di sofa dengan tidak santai. Menarik ujung jaket Dimas seraya merengek, "Aku mau tahu apa yang terjadi. Aku udah cukup dewasa untuk itu. Berhenti hadepin semuanya sendiri! Kakak—"

"Selama ini Papa selingkuh sama sekretarisnya!" Dimas spontan mengatakannya. Sedetik kemudian ia menyesali ucapannya. Karena saat ini tarikan tangan Danessa pada ujung jaketnya perlahan menurun. Gadis itu menatapnya kosong. Tidak percaya pada apa yang barusan ia dengar.

Dimas beralih memeluk adik kesayangannya yang mulai menangis. Ia sudah menduga gadis itu akan terluka mendengarnya. Sebab Danessa yang selalu mendambakan kisah keluarga bahagia dalam kehidupannya. Bahkan ia sempat depresi karena ditinggalkan sang ibu.

"Janji sama Kakak, jangan pernah benci sama siapa pun di sini. Kita juga gak tahu pasti gimana perasaan Mama sama Papa. Mungkin, mereka sama terlukanya kayak kita," ujar Dimas dengan sesekali menepuk punggung adiknya perlahan. Ia mencoba menenangkan Danessa.

"Lalu, kenapa Mama harus menghindar dari kita?" Gadis berponi dengan mata indah itu mengurai pelukan kakaknya. Ia menatap mata sendu sang kakak, mencoba meyakinkan jika ia baik-baik saja. Ia siap menerima kenyataan pahit lain dalam keluarganya.

"Masalahnya terlalu rumit. Yang jelas Papa gak mau cerai. Karena itu akan mempengaruhi nilai saham di perusahaan yang sebagian masih milik Mama." Dimas mejelaskan perlahan seraya tangannya mengelus kepala Danessa yang kini bersandar pada dada bidangnya.

Mine(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang