04

13 4 0
                                    

Masih dengan perasaan bingung, Vani keluar dari kios itu. Rika yang selesai mengangkat panggilan dari hp-nya, berjalan menghampiri Vani.

"Van, kok diem sih, ada apa?"

"Ngg.. nggak kok, ngga papa,"

Rika menatap sahabatnya itu dengan heran, apa yang sebenarnya terjadi selama ia mengangkat telepon tadi.

Vani sibuk mencari alasan untuk menutupi rasa bingung-nya, akhirnya ia mengajak Rika untuk pulang, karena sudah larut malam juga. Mereka cukup puas bersenang-senang. Walau Vani masih kebingungan dengan perkataan peramal tadi.

Di perjalanan pulang, Rika memberitahu, saat ia menerima panggilan dari hp-nya tadi, ternyata dari mamanya. Orang tuanya sudah pulang dari luar kota.

Sesampainya di rumah, Rika yang terlihat letih menghempaskan tubuhnya di atas kasur sambil menghela nafas berat, begitu juga dengan Vani, ia juga melakukan hal yang sama.

Mereka terlarut dengan pemikiran mereka masing-masing, sehingga ruangan yang mereka tempati menjadi sunyi. Vani masih memikirkan kejadian tadi. Ia berpikir keras untuk mencerna kalimat yang diucapkan oleh sang peramal.

"Hidup mu dalam bahaya anak muda, kau harus menanggung beban yang sangat berat,"

Kalimat itu terus menghantui isi kepalanya. Dan juga akhir-akhir ini ia mengalami beberapa hal aneh. "Apa ini semua saling berkaitan?" Batinnya bertanya.

"Iya,"

Seseorang menjawab pertanyaannya, tapi siapa?, Vani melihat kearah sahabatnya yang tertidur pulas, lalu ia menaikkan sebelah alisnya. Netranya menelusuri seluruh sudut ruangan, dan hasilnya tidak ada siapa-siapa, hanya ada dirinya dan Rika yang tertidur. "Hmmm.... Mungkin aku terlalu berpikir keras, sampai-sampai aku halusinasi," Batinnya, sambil membetulkan selimut yang membalut tubuhnya

"Kau tak sedang berhalusinasi, Vania Abhista,"

Suara itu kembali lagi, membuat Vani terduduk dari posisinya yang semulanya tidur.

"Sss...siiapa, kau sebenarnya?"

"Aku adalah dirimu,"

"Kenapa kau bisa tau namaku?"

Beberapa detik ia tak menjawab pertanyaan dari Vani, hening kembali melanda, Vani yang tak tau lawan bicaranya hanya bisa kebingungan dan di tambah rasa takut yang kini mulai menjalar. Keringat dingin membasahi dahi dan pelipisnya, dadanya sesak, seakan ditekan oleh sesuatu.

Tiba-tiba, bayangan melesat tepat di hadapannya, dan mengakibatkan tubuhnya jatuh terlentang di atas kasur. Kini bayangan itu tepat di atasnya. Tenggorokannya tercekat, tak mampu meneriakkan suara, tubuhnya kaku, tak bisa bergerak, ia mulai panik. Cairan bening mengalir begitu saja dari sudut matanya.

Bayangan itu mengikis jarak, ia semakin mendekat ke arah Vani hingga bayangan itu memaksa merasuki tubuh gadis itu.

Dan....
Ia terbangun dengan napasnya yang terengah-engah, keringat dingin masih membasahi dahi dan pelipis. Ia mencoba menetralkan pernapasannya. Setelah dirasa cukup, ia memastikan keadaan di sekitarnya. Ternyata Matahari sudah menampakkan dirinya, Vani mengucek matanya berkali-kali, memastikan penglihatannya karena Rika sudah tidak berada di sampingnya. Ia segera mencari tahu di mana sahabatnya itu.

Saat keluar dari kamat aroma yang menggugah selera tercium dari arah dapur, pertanda bahwa mama sedang memasak, vani segera menghampiri mamanya didapur.

"Ma... Rika kemana, kok vani bangun-bangun dia uda ngga ada?"

"Iya tadi dia buru-buru pulang soalnya tadi subuh papanya uda jemput,"

"Kok dia ngga bangunin Vani, ya maa..?"

"Kamu nya aja, yang kelewat pules tidurnya,"

"Heheheheheheee,"

"Ya uda, panggilin nenek Van yuk kita sarapan,"

"Ok maa..."

Vani pun menghampiri neneknya di kamar, dan mengajaknya untuk sarapan bersama. Setelah acara sarapan pagi selesai, Vani memutuskan untuk mempersiapkan dan mengecek kembali barang-barang yang ia bawa kembali ke kota.

Ia membuka lemari bajunya, dan menemukan buku mistis itu di atas tumpukan baju, Vani sedikit ragu untuk mengambilnya. Dengan sedikit pertimbangan akhirnya ia memutuskan untuk membawa buku itu. Jujur, ia sedikit trauma dengan kejadian tempo hari. Tapi rasa penasarannya juga besar, dan memutuskan untuk membawa buku itu.

Setelah di rasa semuanya sudah di kemas, ia pun bersantai di teras rumah, melamun, itu yang ia lakukan sekarang.

"Hmm... ternyata yang tadi cuma mimpi,"

"Apanya yang mimpi Van," suaranya yang parau membuatnya mudah di tebak, ya, nenek. Vani berusaha menceritakan kejadian semalam. Dan reaksi neneknya sangat berlebihan. Neneknya begitu cemas, raut mukanya seperti mengkhawatirkan sesuatu.

"Ada apa nek, kok tiba-tiba nenek jadi panik gitu, kan yang Vani ceritain cuma mimpi nek,"

"Ehh ii...iya,"
"Ya sudah, yuk masukan barang-barang bawaan mu ke dalam mobil," sambung nenek. Vani membalasnya dengan anggukan.

Barang-barang sudah ada di dalam mobil, selesai dengan itu, ia pun pergi untuk membersihkan diri dan bersiap kembali ke kota.

"Pastikan tidak ada barang yang tertinggal yaa..."

"Iya, hmm... semua sudah Vani masukan kok, tinggal berangkat aja ma.."

"yuk, berangkat," kata nenek yang berada di samping kursi kemudi.

"Ok..." Jawab Irma

Vani dan keluarganya pergi meninggalkan rumah singgah itu. Pemandangan sawah yang menguning masih menemani perjalanannya, laju mobilnya menerobos masuk melewati hutan Pinus,

Hutan ini menerima sedikit pasokan sinar matahari, karena lebatnya daun yang membuat sinar matahari masuk melewati celah-celah dedaunan. Maka dari itu, jalan ini terlihat sedikit gelap.

Dari arah yang berlawanan, sebuah mobil pick up melaju dengan kecepatan tinggi, di depannya sudah ada tikungan yang cukup tajam, sang sopir tidak dapat menghentikan laju mobilnya, rem yang ia injak seakan tak berfungsi.

Mobil Irma yang hendak melewati tikungan itu sempat membunyikan klakson. Tapi naas, mobil pick up itu lebih dulu menyambar mobil sedan Irma.

"Aaaaaaaaa......" Teriak mereka semua.

Tabrakan itu membuat bagian depan sedan itu hancur tak berbentuk, begitu juga dengan pick up itu.

Irma, dan nenek tak sadarkan diri. Vani mengerjapkan matanya perlahan, samar-samar ia mendengar teriakan orang meminta tolong, tubuhnya lemas, tak dapat bergerak.

Seseorang mencongkel pintu mobil sedan itu dan membawa mereka keluar dari mobilnya. Dengan mata sayu-nya Vani melihat mama dan neneknya berlumuran darah. Setelah itu pandangannya menjadi gelap.

Perlahan Vani membuka matanya, bau obat menyeruak di ruangan yang ia tempati, dapat di pastikan bahwa sekarang ia berada di Rumah Sakit. Vani mencoba menggerakkan anggota badannya, tapi semua terasa kaku, kepalanya terasa berdenyut ketika ia mencoba untuk bergerak. Tangan kanan memegang kepalanya yang terasa sakit, rintihan berhasil lolos dari bibirnya, ia menekan bagian yang berdenyut, setelah di raba ternyata kepalanya di balut dengan perban. Sedangkan tangan kirinya sudah terpasang selang yang berisikan cairan infus.

Kejadian terakhir yang masih di ingat nya, ketika melihat kedua orang yang ia sayangi berlumuran darah. Dengan terburu-buru, ia mencoba untuk turun dari ranjang. Dan alhasil ia malah jatuh tersungkur ke lantai. Untung dokter datang untuk mengecek keaadanya.

"Vaniaaa?!?!!!"

______________________________________

Heyyooo, maaf ya telat up
Semoga kalian suka...😉

Katektise - Vania RouteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang