05

10 6 0
                                    

Perlahan Vani membuka matanya, bau obat menyeruak di ruangan yang ia tempati, dapat di pastikan bahwa sekarang ia berada di Rumah Sakit. Vani mencoba menggerakkan anggota badannya, tapi semua terasa kaku, kepalanya terasa berdenyut ketika ia mencoba untuk bergerak. Tangan kanan memegang kepalanya yang terasa sakit, rintihan berhasil lolos dari bibirnya, ia menekan bagian yang berdenyut, setelah di raba ternyata kepalanya di balut dengan perban. Sedangkan tangan kirinya sudah terpasang selang yang berisikan cairan infus.

Kejadian terakhir yang masih di ingat nya, ketika melihat kedua orang yang ia sayangi berlumuran darah. Dengan terburu-buru, ia mencoba untuk turun dari ranjang. Dan alhasil ia malah jatuh tersungkur ke lantai. Untung dokter datang untuk mengecek keaadanya.

"Vaniaaa?!?!!!"

"Kamu masih belum pulih betul, kenapa sudah bergerak,"

Seorang dengan jas putih membantunya untuk berdiri, saat itu juga ia melihat nama yang tertera di saku jasnya, "Dr. Hanz" nama yang familiar.

Vani kembali duduk di atas ranjangnya berkat bantuan Dr. Hanz
Kepalanya masih terasa berdenyut saat mengingat siapakah beliau ini.
Sepersekian detik ingatan masa kecil terlintas, tentang dirinya tengah diobati oleh seseorang yang ia panggil "Om Hanz"

Om Hanz adalah teman dari mama Vani, yang bekerja di sebuah rumah sakit miliknya.

"Om, Vani bisa ketemu mama sama nenek, ngga?"

"Van, mama sama nenek kamu keadaannya masih kritis, mereka masih di rawat, jadi kamu jangan khawatir om akan berjuang untuk menyelamatkan mereka,"

Gadis itu terisak mendengar keadaan mama dan neneknya, ia berusaha untuk tidak meneteskan air matanya, tapi ia tak bisa membendungnya. Om Hanz yang melihat gadis malang itu mendekapnya dalam pelukan.

Ia berusaha menenangkan Vani, yang masih terisak dalam pelukannya.

"Sudah-sudah, om cek pasien lain dulu yaa,"

Ia hanya mengangguk dan tersenyum.

...

Matahari sudah di ujung barat, perlahan berganti dengan gelapnya malam yang diterangi sinar rembulan.

Para pasien rumah sakit mulai terlelap. Begitu juga dengan Vani, ia baru saja menjalani pemeriksaan, yang ditangani langsung oleh Dr. Hanz dan Dr. Naura.

Saat hendak pergi meninggalkan ruangan Vani, Dr. Naura sempat menengok ke arah Vani dan menatapnya dengan heran. Dr. Hanz yang melihat gelagat sang asisten, segera mengajaknya keluar ruangan.

"Aku mengerti, kau pasti heran bukan?" Tanyanya to the point

"Entahlah, ini semua tidak masuk akal, bagaimana bisa, semua luka itu sudah tidak ada?!?"

"Aku juga masih mencari tau akan hal itu,"

Setelah berdiskusi cukup lama di depan ruangan Vani mereka pun memutuskan untuk pergi dari sana dan menuju ke laboratorium.

Saat memeriksa kondisi Vani, Dr. Hanz sempat mengambil sedikit sampel darahnya untuk di periksa.

Sampel darah itu di teliti sedemikian rupa, dan akhirnya apa yang ada pada tubuh Vani semua normal. Hasil itu
Mengejutkan kedua dokter itu.

Keesokan harinya...

Vani terbangun dari tidurnya, saat ia hendak bangun kepalanya terasa berdenyut dan pandangannya sedikit berbayang. Ia pun mau tidak mau harus menahan itu semua karena Panggilan alam yang tak bisa menunggu untuk waktu yang lebih lama.

Dengan jalannya yang gontai ia berusaha menuju ke toilet, tanpa sengaja ikatan perban yang ada di kepalanya mengendur, akhirnya gadis itu sedikit menundukan kepalanya agar dapat melepas lilitan perban yang cukup panjang itu.

Saat Vani menatap cermin, betapa terkejutnya, luka yang ada di kepalanya lenyap tak berbekas. Ia pun segera bergegas keluar dari toilet.

Tangannya sudah memegang kenop pintu, saat membuka, ia dikejutkan lagi dengan kehadiran Dr. Hanz yang tengah berdiri di depannya

"Vani, are you ok? Kenapa muka kamu pucat sekali?" Dengan nada yang panik.

"Ehhh... Ngga papa kok om,"

"Sini-sini om periksa kamu lagi, toh suda jadwalnya juga pemeriksaan pagi,"

Pemeriksaan berlangsung hanya beberapa menit, dan hasilnya tidak ada masalah, semuanya normal-normal saja.

"Om, Vani boleh tanya ngga, ehhh.. jadi gini, luka yang ada di kepala Vani kok sudah ngga berbekas ya?, Tadi Vani sempet kaget, masa iya lukanya cepet banget hilangnya"

"Jangankan luka yang ada di kepalamu, memar-memar dan luka yang lainnya juga tak berbekas, om sendiri juga heran, dan yang lebih mengejutkannya lagi, hasil terakhir pemeriksaan mu kemarin semuanya normal,"

Gadis itu hanya diam seribu bahasa, menampilkan mimik wajahnya yang kaget bercampur dengan bingung. Tapi setelah semua penjelasan dari Om Hanz, Vani dapat mengambil sisi positifnya, bahwasanya dia sudah baik-baik saja.

"Oh ya Van, kamu sudah bisa mengunjungi mama dan nenek mu, tapi, jangan masuk langsung kedalam ok, cukup di depan kaca saja, karena mereka masih butuh perawatan yang intensif," sang lawan bicara hanya mengangguk.

"Eits.... Masa iya kamu mau mengunjungi mereka dengan selang infus yang masih terpasang itu?"

setelah selesai, gadis berpakaian pasien itu mengunjungi ruangan mama dan neneknya. Saat memasuki ruangan, terdapat pembatas berupa kaca, seperti yang dikatakan oleh    Dr. Hanz ia hanya dapat melihat dari balik sana.

Hatinya runtuh melihat kondisi orang yang mereka cintai terbaring lemah dangan segala peralatan medis yang berada di sekelilingnya. Tanpa sadar lututnya tak mampu menopang tubuhnya. Belum sempat jatuh ke lantai, bahunya dicekal oleh seorang perempuan, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.

"Kamu yang sabar ya Van," sambil mengelus lembut surai rambut gadis itu.

Rika memang menyempatkan diri mengunjungi sahabatnya, dan saat itu ia melihat seorang gadis yang sangat familiar sedang berjalan tergesa-gesa di koridor rumah sakit, ia pun mengikuti gadis tersebut. Dan benar dugaannya ternyata gadis itu adalah Vani.

Segera ia tenangkan sahabatnya itu, ia sangat tau bagaimana perasaannya saat ini. Lalu ia memutuskan untuk mengajaknya keluar mencari udara segar.

"Kok kamu tau aku ada di sini?" Sambil sesenggukan

"Uda itu ngga penting, sekarang kamu tenangin diri dulu, ok, aku mau beli air minum dulu,"

Beberapa menit berlalu, kini Rika datang membawa dua botol air mineral.

"Gimana uda lebih tenang?, Nih minum dulu,"

"Sudah kok, ok thanks,"

"Maaf sebelumnya disaat susah kayak gini aku malah telat jenguk kamu, aku merasa sangat bersalah Van,"

"Udalaah ngga papa, toh aku nya juga baik-baik aja, kata dokter juga mama sama nenek uda keluar dari masa kritis, jadi apa yang perlu di khawatirkan?,"

"Yakin, gaapa nih?"

"Iyaaaa.... Rika bawelll,"

"Ya uda kalo gitu, kuy foto-foto, mumpung suasananya mendukung nih,"

"Iya dahh, serah kamu aja,"

Ia pun mencari handphone-nya di dalam tas, setelah menemukannya, langsung Rika dan Vani membuat pose mereka masing-masing. Sudah beberapa kali jepretan yang mereka dapat dengan berbagai macam pose.

Saat melihat-lihat ulang hasil foto mereka Rika baru menyadari satu hal.

"Van, apa kau normal?"

______________________________________

Hohoooo heyo wan kawan, maafkan telat update.

Semoga kalian suka yaa..

Jangan lupa tinggalkan vote & komentar (seikhlasnya saja) 😘😘

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Katektise - Vania RouteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang