P R O L O G

107K 6K 361
                                        

HAPPY READING!

Takdir yang mengendalikan kamu, bukan kamu yang mengendalikan takdir

NOW PLAYING MUSIC
Christina Perri - A Thousand Years

^^^


Seorang gadis sedang berdiri di balkon kamarnya menikmati langit pada malam hari ini. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai begitu saja. Gadis itu memejamkan matanya, menikmati hembusan angin yang membelai lembut wajah cantiknya dan sesekali menerbangkan rambutnya mengikuti arah angin. Tetesan kristal bening itu jatuh dari sudut mata indahnya, dengan cepat ia usap kasar pipinya dan mendongakan wajahnya menatap langit pada malam itu.

Latar hitam berhias titik-titik berkilau, hanya itu yang ia lihat. Pandangannya sekarang beralih pada kalung dengan liontin cincin yang ada dilehernya, cincin bertuliskan nama seseorang yang ia sangat cintai. Senyum sendu jelas terpatri di bibirnya. Matanya yang sayu kembali memandangi langit diatas sana, terlintas dipikirannya bahwa ternyata takdirnya begitu menyedihkan.

Takdir tak pernah bertanya bagaimana perasaan nya, apakah senang atau tidak. Takdir tak pernah peduli, apakah seseorang menerima atau menolaknya, dia akan tetap terjadi. Satu hal yang ia tau, bahwa ternyata takdir itu egois. Pikirannya kembali teringat pada kejadian tadi siang, sehingga rasa sesak itu mudah sekali datang lalu menghimpit hatinya.

Flashback on

"Cepetan dong Ta, ntar jemputan gue udah keburu dateng," rengek gadis bername tag Kanaya Paramitha.

"Bentar Naya, ini juga gue udah selesai kok nyatetnya," jawab Aleta dengan tangan yang sibuk membereskan buku-buku biologinya.

"Eh eh Ta, itu tunangan lo lagi jalan ke arah sini tuh," heboh Naya sembari menguncang-guncang bahu sahabatnya itu.

"Hah serisuan? Mana-mana?" Reflek Aleta menengok ke arah pintu masuk kelasnya. Dan hap, matanya bertemu dengan mata lelaki yang sangat ia cintai itu.

Naya yang mengerti keadaan hanya melemparkan senyum jahil untuk Aleta. "Gue duluan ya ta," pamit Naya lalu dengan cepat berlari meninggalkan dua anak manusia tersebut di dalam kelas yang telah sepi.

Aleta menggendong tasnya. "Mau pulang sekarang? Tumben kamu jemput aku sampai kelas, biasanya kan nunggu diparkiran," ucap Aleta lalu berdiri dihadapan Arkan dengan senyuman manisnya.

"Gausah ge-er deh lo! Gue kesini bukan buat jemput lo. Gue mau jalan sama pacar baru gue, jadi lo pulang sendiri. Dan satu lagi, jangan pernah berharap lebih sama hubungan kita." Hanya itu yang Arkan ucapkan sebelum pergi berlalu meninggalkan Aleta yang masih mematung mendengarkan penuturan tunangannya itu.

"Gue gak akan pernah berhenti berharap."

Aleta tersenyum kecut meninggalkan sekolah untuk mencari angkutan umum, namun kesialan rasanya telah berpihak kepada Aleta saat ini. Jam angkutan umum yang seharusnya akan membawanya pulang telah lewat dan mau tak mau ia harus berjalan kaki agar sampai dirumahnya, jarak rumah dan sekolahnya memang tak terlalu jauh namun yang menjadi kendala adalah langit sore ini berwarna abu-abu pekat dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

"Gue harus buru-buru daripada nanti kehujanan," gumamnya lalu berlari meninggalkan halte didepan sekolahnya.

Baru beberapa meter ia berlari namun kakinya terasa lemas, dadanya kembali sesak. Bukan hal menyenangkan yang ia lihat, tepat beberapa langkah didepannya ia melihat Arkan yang notabene nya adalah tunangannya itu tengah memakaikan jaket juga mantel untuk gadis di jok belakangnya agar tidak kehujanan karna memang sekarang rintik-rintik hujan mulai membasahi tanah yang kering, menyisakan bau petrichor yang menyeruak memenuhi indra penciuman.

Arkan melihatnya, bahkan dengan air mata yang telah membasahi pipi Aleta. Namun Arkan sama sekali tak peduli, ia bahkan sekarang sudah menjalankan motornya dengan seorang gadis yang memeluk pinggangnya dengan pipi yang bersandar pada punggung Arkan.

Aleta masih diam mematung menatap Arkan sampai lelaki itu hilang dari pandangannya. Bahkan badannya yang telah basah juga menggigil tak ia pedulikan. Hujan seolah mengerti perasaan Aleta saat ini, langit menumpahkan tangisnya dan membiarkan air mata Aleta terhapus oleh setiap tetes air hujan. Saat tersadar, Aleta kembali berlari menuju rumahnya dengan perasaan yang tentunya,

Kecewa.

"KAPAN LO BISA HARGAI GUE? APA GAK ADA SEDIKIT RUANG UNTUK GUE ADA DIHATI LO??" teriak Aleta kencang.

Aleta berhenti lalu terduduk di trotoar, menatap kosong jalanan yang sepi. "Gue sa-yang lo Ar, gue pengen benci, pengen menjauh seperti yang lo inginkan, tapi maaf gue gak bisa Ar," lirihnya pelan, mungkin hanya pohon dan hujan yang mampu mendengar isakan lirih dari Aleta.

〰〰〰

Tok Tok Tok

"Ya ampun ta kok kamu basah gini sih? Masuk dulu terus keringin badan." Nana terkejut melihat anaknya yang basah dan menggigil akibat hujan.

"Bunda, buatin Aleta susu cokelat hangat ya," pinta Aleta lalu mengambil handuk kering di laci.

"Iya sayang, loh Arkan mana? Kamu kenapa bisa basah kuyup gini?" tanya Nana.

"Emmm anu Bun, tadi Arkan bawa motor jadi kehujanan deh."

"Trus Arkan nya mana? Kok gak diajak masuk buat keringin badan dulu?" Nana menyodorkan susu cokelat hangat itu kepada anak semata wayangnya.

"Emm, oh iya dia katanya mau cepet sampek rumah aja. Yaudah Aleta kekamar dulu ya Bun." Aleta berlari menaiki tangga lalu masuk kedalam kamarnya. "Huft hampir aja ketahuan," gumamnya.

Flashback off

"Apa mencintai seseorang semenyakitkan ini?"

Kembali ia usap kasar pipinya sebelum ia memasuki kamarnya dan berbaring menanti hari esok yang mungkin akan berubah manis atau lebih menyakitkan dari sebelum-sebelumnya.


^^^

An:

Hi!

Selamat datang di cerita pertama aku, maaf kalo masih berantakan dan gak sebagus cerita-cerita lainnya, aku masih perlu banyak belajar dan aku harap kalian suka.


Jangan lupa vote and comentnya. Terimakasih:):)

Stay Here For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang