; patah

57 6 0
                                    

Perempuan itu mundur sejenak.

Sebenernya, tak hanya sejenak. Tapi selamanya. Susah senang dia mengikuti alur cerita, hampir seluruhnya ia rasa susah. Penuh derita.

"Sudah?" tanya perempuan itu datar, mencoba untuk menstabilkan hatinya yang sudah ingin meledakkan berbagai amarah dan kekecewaan.

Kapasitas amarah dan kekecewaan itu sudah tidak bisa dibendung lagi. Hatinya retak, hancur berkeping-keping. Gugusan rasa yang membentuk susunan cerita selama tiga tahun hancur sia-sia.

Pemuda dihadapannya menunduk, tak berani menatap perempuan dihadapannya. Kemudian ia mendongak, dan mendapati perempuan itu hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. Tak ada suara tangis sesenggukan. Apa pun itu. Tidak ada.

"Jangan pikir aku tidak bisa menangis. Kamu bisa mengira kalau aku saat ini biasa saja, asal kamu tahu, ini benar-benar sakit."

Pemuda itu menghela napas berat ketika perempuan itu bersuara, seolah tahu dengan apa yang ada di pemikiran pemuda itu.

"Maaf, Arina."

"Hanya maaf saja, sebenarnya tak cukup, Alan."

Alan terdiam. Arina tersenyum getir, "Aku tahu kok, kamu tidak bisa berkata apa pun selain maaf. Ya kan?" Arina tersenyum sambil menyelipkan rambutnya dibelakang telinga.

"Kamu..."

Alan berusaha menatap Arina lamat, memperhatikan wajah tirus Arina yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan memecahkan tangis.

"Ya? Aku tidak apa-apa kok. Lagi pula, aku seperti orang ketiga yang mengganggu hubungan kalian."

Alan mendesah keras menanggapi argumen Arina, "Maaf Arina, ini salahku. Seharusnya dari awal aku menceritakan perihal Leya padamu. Leya memang mencintaiku. Sangat. Dan aku —"

"Mencintainya juga, ya kan?" Arina memotong kalimat Alan dengan cepat, telinga Arina tidak ingin mendengar lagi alasan dari mulut Alan.

"Tidak seperti yang kamu pikirkan, Arina. Aku bahkan tidak ada rasa sedikit pun pada Leya. Kamu tahu kan, orangtuaku dan orangtuanya —"

"Sepakat menjodohkan kamu dengan Leya dalam waktu cepat. Kalau memang Leya menyukaimu, bukan berarti aku harus dimaki dan ditampar seperti tadi, dong. Kurasa Leya memang berpikiran aku merusak hubunganmu dengannya —"

"Leya pikir aku mencintainya. Aku bahkan sudah sering memperingatkannya agar tidak mendekatiku. Tapi dia selalu melaporkan kepada orangtuanya dan mengadu kepada orangtuaku kalau kamu adalah —"

"Orang ketiga. Sudah cukup, Alan." Arina mengibaskan tangannya, kemudian mengambil secangkir cokelat dingin dan menyesapnya. Alan menunduk, kemudian dia menyesap kopi hitam yang ia pesan.

"Tidak ada penjelasan lain, kan? Sudah cukup?" tanya Arina, sambil tersenyum. Alan mengangguk. "Maafkan aku, Ar."

"Tidak apa-apa."

"Maafkan Leya juga."

Arina menegakkan bahunya dan menatap Alan, kemudian Arina menghela napas sambil mengulas senyum. "Iya."

"Aku pamit ya, Ar?"

Arina mengangguk. Alan pun berdiri, dan bersiap untuk meninggalkan kafe yang tengah sepi pengunjung itu.

"Boleh aku, memelukmu untuk terakhir kalinya?"

"Jangan. Sama saja kamu akan memancing amukan dari Leya." Arina tegas menolak, "Pergilah, Alan."

Alan terdiam menatap Arina.

"Well, selamat tinggal. Arina."

"Selamat tinggal."

Alan meninggalkan Arina yang terdiam di kursinya tanpa berkata-kata lagi. Arina bisa mendengar suara mesin mobil yang menyala kemudian meninggalkan kafe itu. Kedua tangan Arina menopang kepalanya yang berat, mendadak ia pusing.

Kemudian, beberapa tetes air mata Arina mengalir. Arina menelungkupkan wajahnya ke meja dan terisak-isak.

Terdengar langkah kaki menghampiri meja Arina, lalu seseorang mendekap bahunya dari belakang.

"Arina..."

Suara yang familier ditelinga Arina, Nadin.

Arina mengangkat kepalanya, dan menampakkan wajah sembab kepada Nadin. "Nad?" isaknya. Nadin tersenyum getir seraya berlutut disebelah kursi Arina, kemudian memeluk Arina. "Aku tahu perasaanmu, kok."

Arina menangis keras, menyembunyikan wajahnya ke bahu Nadin.

Nadin yang bekerja di kafe itu tahu, bagaimana kisah Alan dan Arina selama empat tahun. Dan, Nadin sendiri mendengar dari balik bar bahwa Alan mengakhiri hubungannya dengan Arina karena perempuan lain.

"Yakinlah padaku, kalau dia meninggalkanmu, berarti Tuhan sedang menyiapkan orang yang lebih baik darimu. Believe me, Arina."

Arina memilih bungkam tanpa berkata apa pun. Arina tidak ingin mendengar apa-apa lagi.

Hatinya terlalu patah, untuk saat ini.

-26 Maret, Bianisa


Now playing: Rain - The Script

Bersambung.

Hai hai, vote dan komen lagi yha. Hehe. Bentar lagi ulanganku udah mau rampung. Kira-kira gimana ya, kelanjutan si Arina?

Salam, Bianisa.

Ruang Tanpa Rencana [discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang