; papa

26 4 0
                                    

"Anak Papa ada yang lagi patah hati tuh."

Arina tersedak, dan meletakkan sendoknya. Gael langsung mengambil segelas air dan menyodorkan pada Arina. Arina menyambar gelas itu dan buru-buru menelan separuh air dari gelas kaca itu. Papa yang duduk disebelah mama tertawa kecil, "Kok bisa patah hati, Ma? Hatinya direkatkan lagi dong kalau gitu," tawa papa sambil menyeka mulutnya dengan tisu. Kemudian mama mendekat kepada papa dan membisikkan sesuatu kepada papa. Kemudian papa mengangguk seraya tersenyum.

"Arina habis ini temuin Papa di ruang kerja Papa, ya?" pinta papa. Arina mengernyitkan kening, "Mau ngapain, Pa?" tanya Arina, sambil mendorong piringnya yang sudah kosong. Papa tersenyum simpul, "Kamu butuh dokter cinta, Arina," jawab papa santai.

"Uh, Papaaa!" Arina menggerutu sebal, ia tahu pasti papa akan memberikan wejangan untuknya perihal cinta. Mama dan Gael tertawa, "Kan tadi Mama udah ngasih wejangan buat Arina, sekarang giliran Papa yang kasih kamu obat penawar buat patah hati kamu," sahut mama, sambil beranjak mengambil piring-piring bekas makan yang telah mereka pakai.

"Betul itu," papa mengamini ucapan mama.

"Habis Papa kasih obat, nanti giliran Abang yang omelin kamu," celetuk Gael dan memandang Arina dengan serius. Papa mengibaskan tangannya, "Hush, Gael!" Pemuda berusia 24 tahun itu cengar-cengir, "Enggak Pa, Abang bercanda," jawab Gael, kemudian mengacak-acak rambut panjang Arina. "Yaudah, Ma, Pa, Dek, Abang mau ke kamar dulu. Mau nyiapin barang-barang buat besok untuk trip ke Malang. Makasih makan malamnya, Ma. Masakan Mama enak selalu," ujar Gael seraya mencium pipi Mama yang sedang mengambil piring bekas makannya.

Mama mencium kening Gael dan mengusap bahu anak lelaki satu-satunya, kemudian membiarkan Gael pergi ke kamarnya. 

"Abang! Arina kok enggak dicium?" protes Arina, biasanya ia selalu mendapatkan ciuman dikening dari kakak lelaki kesayangannya. "Ogah! Kan adek lagi patah hati!" balas Gael dari balik lorong yang mengarah ke kamarnya. Arina memberungut sebal, mama dan papa tertawa. "Yuk, Arina. Nanti jangan lupa temuin papa di ruang kerja ya," pamit papa yang beranjak menuju ruang kerjanya.

Arina bangkit dan sigap menolong mamanya untuk mencuci piring.

"Mama cerita apa aja ke Papa?" tanya Arina setengah protes, sambil mengambil spon cuci piring. Mama tertawa, "Ya cerita kalo anak Mama patah hati," jawab mama santai, "Oh iya, Nadin tadi juga cerita soal Leya -"

"Calon tunangan Alan, Ma," potong Arina cepat, mendadak wajah Arina berubah menjadi datar. Mama terdiam, tapi tetap tersenyum. "Habis ini cepat temui Papa ya, Arina. Mama yakin, Papa pasti kasih solusi buat kamu," ujar mama. Arina hanya mengangguk, dan segera menyelesaikan cucian piringnya. Selesai mencuci dan menata piring kembali di rak piring, Arina pamit kepada mamanya dan bergegas menemui papanya.

Langkah Arina berat menuju ruang kerja papanya, Arina merasa takut apabila melihat papanya kecewa karena dirinya patah hati karena lelaki lain. Ruang kerja papanya berada di dekat pintu menuju dapur, ruang kerja papanya yang memiliki aroma khas kopi — karena setiap saat papa selalu menyemprotkan parfum beraroma kopi diruangan itu — membuat Arina betah berlama-lama di ruangan itu. Apa lagi diruangan itu papa menyediakan sebuah single bed dan rak-rak buku yang dipenuhi berbagai buku yang bisa Arina baca setiap saat.

Arina mengetuk pintu kamar papa, "Pa, ini Arina."

"Masuk aja!" balas papa dari dalam. Arina membuka pintu kamar papa, dan mendapati papa sedang duduk memunggunginya. Papa duduk menghadap ke arah sebuah komputer layar datar yang tengah menyala dan dua tumpukan berkas kerjanya. Arina tertegun, beberapa hari terakhir papa sedang sibuk dan selalu lembur karena pekerjaan papa yang tidak bisa ditinggal.

Arina mendekati papanya, dan memeluk papa dari belakang ketika papa sedang mengetik di atas keyboard. Rasanya Arina ingin menangis keras-keras dalam pelukan papa, ia ingin menumpahkan seluruh keluh kesah yang ia alami hari ini. Tak lama, Arina mulai meneteskan air mata yang jatuh ke bahu papanya.

Arina terisak, papa terdiam.

"Pa..., hari ini aku kacau banget. Hatiku patah banget. Aku enggak pernah mengalami hal yang seperti ini di dalam hidupku Pa..., aku enggak tau mau harus bagaimana lagi...,"

Papa mengusap tangan Arina yang melingkar dibahunya, kemudian papa bangkit dan memeluk putri bungsu satu-satunya. Tak lama, Arina menangis keras-keras dalam pelukan papanya. "Papa ngerti apa yang kamu rasain, Nak. Papa ngerti, tenang. Masih ada Mama, Papa, sama Abang yang sayang sama kamu Arina. Sudah, jangan larut dalam kesedihan. Kalau kamu semakin larut dalam kesedihan, itu malah membuat kamu kelihatan kalau kamu itu lemah. Anak Papa kuat, jangan lemah karena laki-laki lain yang enggak ada hubungan apa-apa sama kamu."

Arina mengetatkan pelukannya, dan menangis semakin keras.

—16 April 2019

Now playing: Nandemonaiya (Movie Edit) - Radwimps.

Haloooo, saia lagi sibuk (stress) gara gara olimpiade PPKn:) doakan ya biar saya lolos ke dalam perlombaan. Aamiin. Vote dan komen yaa jangan lupaaa😙

Cyaaa~~


Ruang Tanpa Rencana [discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang