Twelve

1.2K 191 6
                                    

"Olahraga, yuk!"

Rasya menutup kepalanya dengan bantal. "Malas, ah. Lagian juga, suhu gue baru aja normal. Nanti, kalau naik lagi gimana?"

Aldrin yang sejak pukul setengah enam pagi sudah mengganggu Rasya, langsung menarik selimut yang melingkupi tubuh Rasya. "Nggak ada alasan buat nggak olahraga, Sya. Lo harus tetap sehat."

Mendengar itu, Rasya lantas mengerang pelan. Tangannya memukul tangan Aldrin yang hendak menarik lengan Rasya. "Drin, malas. Gue semalam baru tidur jam dua pagi, gara-gara nugas."

Aldrin duduk di sebelah Rasya. "Tumben ngerjain tugas sampai begadang gitu. Biasanya cepat."

"Nggak tahu, ah."

Aldrin mendengkus kesal. Tangannya menoyor kepala Rasya perlahan. "Udah berapa ratus kali gue, bunda lo, sama ayah lo ngomong biar lo nggak kayak gini, ha?"

"Nggak tahu."

Kali ini, Aldrin benar-benar emosi. Ia menarik bantal yang menutupi kepala Rasya. "Dasar bego! Apa dengan lo kayak gini, Dafi bisa balik lagi? Kenapa lo nggak bisa bangkit juga? Bunda lo, ayah lo, semuanya berusaha buat terus hidup. Tapi, kenapa lo malah kayak gini?! Kalian emang kembar, tapi Dafi udah meninggal, sementara lo masih hidup. Tolong, jangan bersikap seolah lo juga ikut mati!"

Rasya berdecak pelan. Kini, ia menatap Aldrin. "Gampang, ya, ngomong kayak gitu." Rasya bergumam pelan. Ia tersenyum miring, membuat Aldrin, untuk sejenak, bergidik ngeri.

"Gue sama Dafi udah bareng sejak dulu. Lo gampang ngomong kayak gitu, karena lo nggak tahu gimana rasanya jadi gue. Iya, lo kehilangan Dafi juga. Tapi, gimana kalau lo jadi gue, yang selama sembilan belas tahun, bahkan sejak dari dalam rahim, selalu bareng sama dia?!"

•Without You•

A/n

Tadinya, nggak mau bikin Rasya melewati fase depresi. Tapi, tiba-tiba pengin aja gitu :( aku jahat, ya.

Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang