Aku membilas rambutku di bawah guyuran air dingin. Memakai shampo sebanyak dua kali sehingga memastikan telah terbangun sempurna.
Setelahnya pun, aku berdiri di depan kalendar. Memastikan bahwa aku hanya tertidur selama satu malam dan bukannya bertahun-tahun. Bisa saja kan jika ada orang jahat membiusku, membuatku hamil, kemudian merawatku serta memastikan bahwa bayiku kemudian terlahir dengan selamat. Dan setelahnya, aku baru terbangun setelah bayiku tumbuh menjadi anak-anak.
Pikiran itu memang sempat mampir. Tetapi ketika tersadar bahwa itu hanyalah bayangan konyolku, segera aku tersadar. Bocah itu memang bukanlah anakku. Menikah pun aku belum pernah dan sudah berlalu lama sejak aku berhubungan dengan pria dalam konteks seksual.
Jadi, bocah manis menggemaskan berbau bedak minyak telon dan permen karet itu memang bukan anakku. Meski... aku tidak akan menolak jika memiliki putri secantik itu.
Setelah menggunakan kemeja flanel dan celana yoga, aku turun ke bawah. Rumahku adalah jenis rumah sederhana dengan dua lantai. Lantai atas adalah kamarku dan perpustakaan kecil serta ada balkon yang menghadap ke kebun kecil di belakang rumah. Bagian bawah adalah kamar Richard, dapur, dan ruang mungil untuk menerima tamu serta ruangan sederhana yang biasa kugunakan untuk makan sekaligus untuk menonton televisi atau DVD player jika Richard memberi rekomendasi film terbaru.
Bagian depan rumah yang seharusnya menjadi garasi telah kusulap menjadi florist yang langsung menghubungkan dengan kebun di bagian belakang rumah. Tempat tanaman hias yang mati-matian kurawat. Beberapa sukses untuk tetap tumbuh sehat dan sebagian yang lain masih membutuhkan keajaiban bagiku untuk bisa tetap hidup.
"Habiskan sarapanmu dan kita akan menemui Mamamu lagi." Suara Richard terdengar membujuk tampak asing di telingaku. Sejak kapan bocah itu bisa-bisanya bersikap manis seperti itu?
"Iya! Iya! Lalu Mama akan pulang bersama Nia. Iya kan?" Celotehan penuh semangat terdengar. Membuatku yang sudah berada di dekat dengan ruangan santai berhenti untuk melangkah.
"Kalau kamu bersikap baik, Mama kamu pasti akan ikut pulang." Jawab Richard terdengar yakin. Aku mengintip dari balik tembok. Melihat Richard sedang mengusap gemas rambut bocah itu yang mengangguk-angguk semangat.
Oh God. Aku bukan Mama yang bocah itu maksudkan. Bagaimana bisa Richard menjanjikan hal mustahil seperti itu?
Aku memejamkan mata. Mengambil napas panjang untuk meredam amarahku kepada Richard. Dia harus belajar untuk tidak menjanjikan bulan kepada gadis kecil.
"Mama!" bocah itu berteriak nyaring. Mengabaikan makanannya dan berlari setengah melompat kepadaku. Tangannya mengurungku. Kepalanya berada di pahaku.
"Ayo Ma. Makan!" Ajakanya dengan menggandeng tanganku. Dia memintaku duduk di kursi yang sebelumnya bocah itu tempati sebelum tubuh kecilnya menyusup di atas pangkuanku.
"Mama! Aaaak~" Aku menatap bingung ketika bocah itu bersiap menyuapiku.
"Ayo Mama. Makanlah," tambah Richard dengan seringaian lebar.
Aku mendelik kepadanya yang tampak geli. Memberikan sorot tajam bahwa dia harus menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Richard pasti mengetahui sesuatu mengenai bocah ini. Bahkan bisa jadi Richard adalah penyebab keberadaan gadis mungil di atas pangkuanku. Atau jangan-jangan, gadis mungil menggemaskan ini adalah anak Richard?
"Yeah. Silakan berpikir macam-macam dan Bibi bisa membuat sinetron berdurasi lima jam." Selorohnya seolah membaca apa yang berada di dalam kepalaku.
"Mama! Ayo makan!" Bocah itu kembali menarik atensiku. Tangannya terlihat tidak sabar sehingga akhirnya aku membuka mulut dan menerima suapannya. Dia lalu menyeringai lebar. Memperlihatkan gigi susunya yang sempurna. Dua lesung pipit juga terlihat yang membuatku ingin mengecupinya. Ya ampun...
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIP OUT
ChickLit"Cinta itu terlalu mewah untuk orang sepertiku. Namun pernikahan tanpa cinta, adalah sebuah neraka. Tidak masalah hidup selibat seorang diri. Lagi pula, aku memiliki Richard -keponakanku- yang bersedia menemaniku hingga tua nanti." -Abianca Mahendra...