Satu minggu berselang setelah apa yang terjadi dengan kedatangan Yania. Kupikir Jeremi akan datang keesokan paginya untuk menjelaskan semuanya. Tetapi nyatanya semuanya tidak terjadi.
Sementara Richard tetap bungkam dan menyibukkan dirinya dengan dalih sekolah dan ketika dia luang, dia lebih menyukai berkutat dengan tanaman-tanamanku seolah mereka lebih menghibur daripada bibinya yang seorang manusia. Sungguh terlalu!
Aku berusaha melupakan bayangan Yania. Bocah itu, meski baru beberapa jam saja datang secara tiba-tiba di hidupku, nyatanya sudah mencuri banyak perhatian dariku. Apalagi bayangannya yang terlihat sedih ketika berada di gendongan Jeremi.
Aku menghela napas panjang. Menepuk kedua pipiku dengan tidak sadar dan mencoba mengusir bayang-bayang Yania.
"Aku nggak tahu kalau trend masker tanah memang sedang booming." Celetuk Richard dengan bibir tersungging mengejek.
Aku mendelik sewot. Membuat Richard mengangsurkan kamera ponselnya dan memperlihatkan tanah yang menempel di kedua pipiku. Mengangkat lenganku, aku melihat sarung tangan berwarna merah yang sedang aku gunakan untuk memberi pupuk tanaman-tanamanku.
Aku pun menyeringai. Seolah Richard memiliki indra lebih dari lima, dia segera menghindar dan kalah cepat dariku. Oh ow! Jangan panggil aku Bianca kalau mengatasi anak bau kencur ini saja tidak bisa!
Satu tanganku menarik lengan Richard. Sementara dengan tangan yang lain aku mengambil segenggam tanah dan mengoleskannya di wajah tampan Richard.
"Bi! Ini sih sudah keteralaluan!" Raung Richard tidak terima.
Aku tertawa. Tidak berhenti mengotori Rirchard di bagian lengan yang terbuka. "Nggak apa. Kan kamu yang bilang kalau masker tanah sedang populer!" Jawabku dengan tawa berderai.
Richard yang tampak kesal akhirnya mulai membalasku. Mengambil segenggam lagi tanah dan mulai menyerangku dengan lemparan tanah basah.
"Awas kamu ya! Durhaka sama Bibi sendiri nanti aku kutuk jadi jomlo menahun ya!"
Richard tertawa-tawa. Dia malah memutari meja yang terletak di halaman belakang dengan dua genggam tanah di tangannya.
"Nggak bakalan mempan, Bi! Kutukan dari jomlo yang berdoa biar orang lain jomlo biasanya memantul!"
What the...
"Heeei!" Teriakku gemas. Aku mengambil satu sekop tanah. Berancang-ancang melemparinya yang masih saja tertawa-tawa. Saat aba-aba ketiga, sudah kuduga bahwa itu akan meleset. Tetap saja, energi anak belasan tahun akan lebih banyak daripadaku. Richard dengan mudah mengindari seranganku dan kini mulai berjalan ke selang air yang tergeletak.
"Jangan berani-berani ya kamu!" hardikku sembari mundur.
Tahu kan bagaimana percampuran tanah dan air? Itu tidak pernah baik!
Tetapi dasar keponakan keponakan menjangan yang nggak bisa diam, dia malah menyeringai lebar. Mulai mengarahkan selang ke arahku dan membuatku basah dalam arti harfiah dari ujung kepala sampai ujung kaki. Untuk menghindar pun percuma karena aku tidak mau area tamanku menjadi semakin berantakan.
Aku menahan napas. Memberikan delikan kepada Richard yang hanya ditanggapinya dengan cengiran tanpa rasa bersalah. Rasanya aku bisa menyemburkan napas api dan membuat Richard yang penuh dengan tanah menjadi patung hidup.
"Mama basah!" Dan suara tawa serupa gemerincing bel terdengar di belakangku.
Aku membeku. Segera saja berbalik dan menemukan bocah mungil itu melihatku dengan matanya yang berseri-seri.
"Yania?"
"Nia di sini, Mama!" Jawabnya antusias. "Uncle! Yania ikut main," rengeknya dengan langkah cepatnya dan bergabung bersama dengan sisi Richard. Jika seperti ini, bagaimana bisa aku mengeluarkan napas apiku?
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIP OUT
Chick-Lit"Cinta itu terlalu mewah untuk orang sepertiku. Namun pernikahan tanpa cinta, adalah sebuah neraka. Tidak masalah hidup selibat seorang diri. Lagi pula, aku memiliki Richard -keponakanku- yang bersedia menemaniku hingga tua nanti." -Abianca Mahendra...