Happy reading🙏🏻
Maaf untuk part ini saya persingkat. Lagi mogok, nih🤣Basah, semakin basah. Kuyub gigil tangis gadis berponi di sudut kamarnya. Sepulang dari perpustakaan sore itu ia menyaksikan hal yang benar-benar dibencinya sejak kecil. Ya, hal yang paling membuatnya sakit. Membuat hatinya teriris kembali setelah beberapa waktu terkatup oleh ketulusan.
"Nisy, buka pintunya donk, jangan gitu napa?" Chika tak henti membujuk sepupunya itu untuk membuka pintu kamarnya.
"Udahlah, Chik gak usah bujuk aku untuk buka pintu. Untuk apa aku buka pintu? Untuk mendengarkan omong kosongnya?"
Hati yang terlanjur tersakiti, mungkin akan membuka maaf untuk satu kali, tapi tidak jika harus beberapa kali. Terlebih hati wanita yang begitu riskan menerima rasa sakit yang berkepanjangan.
"Buka pintunya, Nisy! Ayah mau bicara."
Tak ada kata apapun yang keluar dari mulut gadis kecil itu. Ayah Nisyfi terus mengetuk pintu kamarnya. Sedang Chika mencari kunci cadangan di semua laci.
"Nisy, buka pintunya! Ayah mau jelasin semuanya. Apa yang kamu lihat itu tidak benar. Ayah tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya."
"Ayah selalu dengan ringan mengatakan itu, tapi Nisyfi sangat berat untuk menerimanya," kata Nisyfi dengan sesegukan.
"Buka dulu pintunya, Nak. Ayah mohon!"
Ayah Nisyfi hampir mendobrak pintunya. Untung saja Chika dengan cepat memberikan kunci itu pada Ayah Nisyfi.
"Tunggu, Om!" cegah Chika seraya menyodorkan kunci.
Pintu pun sudah bisa dibuka tanpa harus membuang waktu dan tenaga untuk mendobraknya. Bagi sebagian orang ketika ia panik, memang hal yang tak wajar yang dilakukan.
Melihat ayahnya dengan saudara sepupunya itu masuk ke kamar, Nisyfi langsung masuk ke dalam selimut tebal berwarna sky di atas tempat tidurnya.
Chika berdiri tegak menyaksikan seorang ayah yang sedang membujuk anak gadisnya untuk mau bicara padanya. Hal itu membuat Chika teringat pada ayahnya.
"Ayah gak perlu bicara apapun! Semuanya sudah jelas."
"Maafin Ayah, Nisy. Ayah gak bermaksud untuk mengkhianati kalian semua."
"Sebaiknya Ayah pergi dari kamar Nisyfi. Nisyfi mau istirahat."
"Kita keluar saja, Om. Biarkan bara api yang ada di hati Nisyfi redup secara perlahan," ajak Chika pada lelaki paruh baya di depannya.
Nisyfi tak kuasa untuk menahan air mata kecewa. Perlahan air matanya membanjiri pikirannya. Rasa penasaran pada hubungan ayahnya dengan ibu Ronan belum terjawab tuntas, kini ia harua ditumbuhi pertanyaan serupa.
"Oh Tuhan, apa yang sebenarnya lelaki mau dengan dunia? Bukankah ia telah memiliki apa yang mereka butuhkan?"
Hati Nisyfi mulai tak menentu. Pikiran kacau tk terarah, semua rencna mulai tak bisa ia kendalikan.
"Ronan." Nama itu tiba-tiba terlintas. Ia bangun dari tempat tidurnya kemudian mengambil gawai di meja dekat tempat tidur. Tampak jarinya beberapa kali mengusap layar benda itu.
Panggilan yang dilakukan Nisyfi lewat ponsel tersebut tidak sama sekali mendapat jawaban. Ronan tak mau mengangkat telepon dari Nisyfi.
"Tolong angkat teleponku, Ron. Saat ini aku butuh kamu," gumam Nisyfi.
Selang beberapa menit berlalu, ponselnya berbunyi. Nisyfi tampak semringah sekitar dua detik, setelahnya ia tertekuk.
"Ada apa, Ka? Saya lagi malas ngomong. To the point aja," ucapnya ketus pada lelaki yang menelponnya.
"Kok ngomongnya gitu sih? Lagi dapet, ya?" Arka berusaha bercandai Nisyfi, karena ia tahu kalau gadis mungil itu sedang banyak pikiran.
"Udah, Ka. Aku lagi malas...."
"Iya, iya. Saya tahu. Pasti lagi mikirin si Ronan."
"Kok kamu tahu?"
"Iya, donk. Aku kan, selalu ada di dekatmu!"
Nisyfi menoleh ke jendela kamarnya.
"Kamu di depan rumah?" tanya Nisyfi sembari melangkahkan kedua kakinya ke dekat jendela. Memastikan bahwa Arka tidak ada di sekitar rumahnya.
"Pasti kamu lagi ngecek ke jendela," ucap lagi Arka, membuat Nisyfi semakin penasaran, "tenang, Nona. Pangeran ganteng ini gak bakal menyalahi peraturan kerajaan."
"Apaan sih, gak jelas banget. Udah ah, malas. Aku tidur dulu, ya. Bye...."
______
"Apa kabarmu, Ron. Semoga kamu baik-baik saja di sana," ujar Nisyfi di dalam kamar sendirian hanya berteman sepi.
Malam ini tak mau satu orangpun mengganggu Nisyfi, bahkan Chika sekalipun yang biasa tidur di kamarnya. Beberapa menit, Nisyfi melamunkan keberadaan teman barunya itu, tiba-tiba ia teringat sesuatu tentang Ronan.
"Oh iya, kompas itu," katanya setelah sadar dari lamunannya. Ia melangkah mencari tas kecil yang biasa ia bawa ke perpustakaan. Gantungan kunci berbentuk kompas kuno itu, masih tersimpan dengan baik dalam tas miliknya.
"Apakah kompas ini akan menunjukka di mana dan bagaimana keadaanmu, Ron? Sungguh aku ingi. Kamu hadir saat ini di sampingku. Hatiku tak menentu."
Tetes demi tetes air matanya jatuh tepat di permukaan kompas kecil yang dopegangnya.