Jangan Ambil Malaikatku

15 3 15
                                    

Sudah genap satu bulan Ronan menjalani hidup di luar kota untuk mencarikan obat untuk ibunya. Perlahan ia mulai lupa dengan apa yang mestinya dilakukan di rumahnya. Kuliah dan aktifitas lainnya ia tak pedulikan sama sekali, yang ada hanya kesembuhan Bu Sintia.

Bukan maksud ia melupakan dari mana ia berasal, melainkan mencoba untuk fokus pada kesembuhan malaikat dunianya. Takkan mudah bagi seorang anak untuk menyatukan seluruh pikiran hanya untuk memikirkan ibunya, kecuali ia benar-benar mencintai.

Sebulan penuh, bu Sintia menjalani perawatan di salah satu tabib, namun tak ada sedikitpun tanda-tanda kesembuhan. Segala upaya Ronan jalankan.

Adzan berkumandang mengiringi hembusan nafas terakhir Bu Sintia. Ronan gemetar melihat ibunya terkulai lemas di tempat tidur tak bernyawa.

"Sabar, Nak. Mungkin Tuhan lebih menyayangi Ibumu," ujar Bu Sugeng yang sudah menampung Ronan beserta bu Sintia sejak pertama datang di kota itu.

Tak henti air mata remaja itu menetes membasahi seluruh penyesalannya. Ia merasa apa yang selama ini berikan untuk ibunya belum maksimal. Ia lupa bahwa semua ketentuan yang Tuhan berikan sudah pasti yang terbaik untuk hambaNya.

"Ingat, Nak. Perjalananmu masih panjang, jangan berhenti sampai di sini," kata bu Sugeng lirih. Di usapnya kepala Ronan sembari mendo'akannya.

"Terima kasih, Bu. Maafkan Ibu saya sudah merepotkan bu Sugeng."

"Gak papa, Nak. Ini sudah kewajiban ibu sebagai sesama muslim."

Ronan reflek memeluk Bu Sugeng seperti memeluk ibunya sendiri. Dengan penuh rasa sayang, ibu sebatang kara itu, menyambut pelukan Ronan dengan penuh kehangatan. Sudah lama bu Sugeng ditinggalkan suaminya, ditambah dengan anaknya yang lebih memilih tinggal di rumah istrinya. Dengan kedatangan bu Sintia dan Ronan sangat membantu dalam memulihkan semangat hidup Bu Sugeng yang sudah mulai redup.

Kini Ronan harus kehilangam orang satu-satunya yang ia miliki. Hidupnya sedari lahir hanya bersama ibunya, ia lahir tanpa tahu siapa dan di mana ayahnya berada. Bahkan, sampai saat ini ia tidak tahu siapa lelaki yang harus ia sebut sebagai ayah. Sempat ia menanyakan prihal sosok ayah kepada ibunya semasa ia di bangku sekolah dasar, lantaran di sekolah ada pertemuan yang mengharuskan seorang ayahnya datang ke sekolah. Ronan tidak pernah mendapat jawaban yang jelas dari bu Sintia, yang ada hanya ucapan 'tidak usah tanya itu lagi', kalimat itu yang membuatnya semakin penasaran tentang sosok yang ibunya rahasiakan itu.

#Pov Ronan

Langkahku kini tak berarah. Segala mimpi yang pernah hadir tak mampu lagi kuikhtiarkan. Satu-satunya yang kupunya telah Tuhan tukarkan dengan tangisan. Tuhan... Andai dapat kupinta, jangan Engkau ambil malaikatku, jangan biarkan aku sendiri tanpa harapan apapun.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari ini, serasa aku mulai tak berarti dalam hidup ini tanpa hadirnya. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan hidup, sedang aku kehilangan separuh nyawaku. Andai saja Tuhan mengabarkan akan semua terjadi saat ini, mungkin aku akan meminta padaNya untuk jangan dulu menjemput malaikatku. Kupinta padanya untuk memberiku waktu agar terbiasa tanpanya.

Argh! begitu lancang pemikiran ini. Bagaimana mungkin aku meminta pada Tuhanku yang sejatnya lebih berhak mengatur kehidupan hambanya.

_______

"Bu, sekali lagi Ronan minta maaf."

"Sudahlah, Nak. Ibu tidak merasa diberatkan oleh kalian. Ibu tidak pernah berpikir hadirnya kalian beban dalam hidup ibu. Bahkan besok dan seterusnya, jika Ronan mau, maka ibu bersedia untuk merawat."

"Terima kasih banyak, Bu. Tapi Ronan harus kembali pada kehidupan yang dulu, di tanah lahirku. Masih banyak hal yang harus Ronan tuntaskan."

Bu Sugeng mengangguk, seraya melingkarkan tangan kanannya pada tubuh remaja di sebelahnya.

Langit begitu teduh, awan berbaris memayungi. Menidurkan otot yang lelah. Ronan mencoba merebahkan tubuhnya di tempat tidur, menerawang ke atap begitu kosong, seperti pikirannya yang saat ini benar-benar kosong. Entah apa yang akan mengisi kekosongan itu setelahnya.

Kamu harus segera pulang ke rumah, Nak. Serasa ada yang berbisik dengan kalimat itu di telinganya. Suara itu begitu jelas didengar. Ya, suara bisikan itu seperti ibunya.

"Ibu, itukah kamu? Kemarilah, Bu. Ronan merindukanmu. Ronan hanya memiliki Ibu. Jangan tinggalin Ronan sendirian, Bu."

Ketika kita kehilangan hal yang paling berharga, di saat itulah kita akan selalu teringat dan selalu ingin tetap memilikinya. Tapi itu hal yang sangat tidak mingkin, karena setiap yang pergi, takkan bisa kembali. Namun, akan Tuhan ganti dengan yang lebih baik lagi, Insya Allah.

Ronan tak mendapat jawaban apapun, hanya bisikan angin yang terus memenuhi gendangan telinganya.

"Ah! Hidup terlalu kejam menikamku, tak sedikitpun memihak padaku, meski hanya memberiku waktu untuk membersamainya."

Prak! Bingkai foto di meja kecil di pojok kamar itu terjatuh tertiup angin. Foto bu Sintia bersama Ronan. Ronan tak pernah sama sekali memeriksa foto yang dipajang oleh ibunya beberapa minggu terakhir itu.

Di balik foto tersebut, tepat di bagian belakang framenya terdapat foto lain. Entah gambar siapa di sana. Ronan bangun dari tidurnya untuk memastikan gambar yang terdapat di belakang foto dirinya bersama ibunya itu. Lalu Ronan memungutnya dari lantai tanpa berpikir untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan.

"Siapa yang ada di foto ini? Anak kecil ini? sepertinya ini anaknya, tapi kenapa Ibu menyimpannya di balik foto ini? apa jangan-jangan ini ayah?" segala prasangka memenuhi otak Ronan. Ia semakin yakin dengan prasangkanya itu setelah membalik selembar foto tadi kemudian menemukan ada nama dirinya beserta tanggal lahirnya. Ronan lagsung keluar dari kamar dan mencari Bu Sugeng kemudian berpamitan untuk segera pulang karena ada hal yang harus ia selesaikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RONAN DAN NISYFITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang