Ada Rindu Ada Candu

27 3 26
                                    

Ketika sebuah pilihan harus kita ambil, sedang tak ada pilihan lain, di saat itulah perasaan dalam hati mulai berkecamuk saling memberontak melawan kebimbangan. Cukup berat bagi Ronan untuk melanjutkan pengobatan ibunya ke luar kota. Bukan hanya soal biaya yang harus ia keluarkan, melainkan banyak hal yang harus ia korbankan, kuliah salah satunya.

Akhir-akhir ini kondisi bu Sintia sering drop. Beberapa dokter yang sempat menangani bu Sintia sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa, segala upaya telah mereka lakukan, namun semuanya tak ada hasilnya. Nihil.

"Sebaiknya bu Sintia dicarikan tabib saja untuk mengobatinya," kata salah satu dokter di rumah sakit Cendana. Ronan mengangguk pasrah. Sedang bu Sintia menatap mata anaknya dalam-dalam.

Secepatnya Ronan harus membawa bu Sintia ke tabib yang direkomendasikan teman ibunya. Sempat beberapa hari yang lalu salah satu teman bu Sintia memberikan alamat tabib yang dimaksudnya.

"Ron, Tante minta maaf tidak bisa menemani ibumu ke sana. Tante masih banyak tanggungan di sini."

"Nggak papa, Tan. Ronan cuma minta do'anya agar dimudahkan."

"Itu sudah pasti, Ron. Jaga dirimu! Jangan lupa kabari Tante setelah sampai di sana."

Hari ini Ronan harus segera berangkat membawa ibunya ke sana. Ke tempat tabib di sebuah desa di lereng gunung Salak, Bogor. Tak tahu harus pada siapa ia mengabari kepergiannya menemani wanita yang telah merawatnya sejak kecil itu. Hanya berbekal pasrah ia berangkat bersama sopir keluarganya. Padahal jika ia mau, Arka pasti bersedia untuk menemaninya, tapi Ronan tak sampai berpikir untuk ke sana.

Mobil hitam membawa impian Ronan dan Bu Sintia menuju Bogor. Entah apa yang nantinya akan ia bawa. Ruang mobil itu begitu sunyi, tak ada suara yang mampu memecah kesunyian itu. Bu Sintia tertidur. Sedang lelaki tua di jok depan terus fokus menyetir. Ronan hanya bisa menyaksikan mobil-mobil lain di luar sana yang saling berkejaran. Di balik kaca mobil, ada wajah sayup.

Beberapa menit kemudian hp Ronan berbunyi, notifikasi wattsapp tertera di bagian layar atas ponselnya. Satu pesan belum terbaca dari Nisyfi. Ronan hanya melirik pada benda persegi di sebelahnya. Tak ada mood untuk membukanya.

_____

"Ka, Ronan hubungin kamu, gak?" tanya Nisyfi sesampainya di taman komplek. Matanya terus memandangi layar ponsel menunggu balasan dari Ronan.

"Gak ada, Nisy. Emangnya kenapa?"

"Hari ini dia gak ke perpustakaan. Aku datangi ke rumahnya, gak ada siapa-siapa. Di rumah sakit, kata dokter Bu Sintia sudah dibawa pulang."

Arka juga tak tahu ke mana Ronan pergi. Dan memang tidak wajib untuk tahu ke mana ia harus pergi. Hanya saja Arka sedikit penasaran, biasanya meski tidak secara langsung, Ronan pasti cerita sedikit tentang rencananya.

"Kok aku jadi khawatir ya, Ka?" kata Nisyfi pelan.

Arka bangkit dari duduknya. Ia mencoba untuk menelpon sahabat karibnya itu. Tetap saja tak ada jawaban. Nisyfi semakin gelisah.

"Kenapa kamu begitu gelisah, Nisy? Kenapa harus gelisah?" Batin Arka. Ditatapnya lekat-lekat wajah remaja SMA itu. Nisyfi masih saja fokus pada sebidang lcd ponselnya.

_____

"Maaf, Nisy. Untuk saat ini tak usah kau tahu keberadaanku. Aku yakin Arka mampu menjagamu," kata Ronan pada ponselnya. Seakan Nisyfi sedang berdiri di hadapannya.

Derum mesin mobil kanan dan kirinya membangunkan bu Sintia yang sedari tadi lelap dalam mimpi. Ronan segera mendekapnya agar tubuh yang lemah itu mampu duduk dengan sempurna.

RONAN DAN NISYFITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang