VII

36 3 0
                                    

* Author's POV *

*

*

Leonne berjalan menuruni tangga besi berukir mewah. Di benak nya kembali terbayang wajah Lucy yang cantik dengan rambut pirang strawberry yang selalu tergerai berombak di sepanjang punggungnya. Apakah karena Kate ingatan Leonne akan Lucy kembali hadir?

Selama didalam rumah sakit Lucy sering mengeluh bosan. Walau selang infus tak pernah luput dari tangannya, Lucy benar-benar tidak bisa diam. Bila bosannya sudah diubun-ubun, Lucy sering memohon pada Leonne untuk membawanya kabur yang seringkali di tolak mentah-mentah oleh Leonne karena Lucy sakit parah.

"Loo, kau tidak boleh meninggalkan kamar ini" tegas Leonne

"Tapi aku bosan setengah mati" jawab Lucy dramatis dengan mengacak rambutnya brutal

"Aku tahu. Tapi bagaimana kalau kita teruskan permainan semalam?" bujuk Leonne

"Oh come on dude, you're not gonna make me change my mind" sahut Lucy

"You already lost twice by the way " lanjut Lucy yang di jawab dengan kekehan Leonne

"But you know what happen if I help you escape from here right?" Leonne kembali serius dan duduk di tepi ranjang

"I know, your dad will lock you up again in the attic for another 100 years" jawab Lucy murung

"Hahahaha...And it will break my heart if I cannot see you again" Leonne kembali tertawa melihat Lucy yang ngambek.

Tapi Lucy tahu, Leonne hanya ingin yang terbaik baginya.

Malam nya, Lucy kembali kritis. Dokter jaga dan perawat sibuk melakukan penanganan pada Lucy. Leonne hanya bisa memandang Lucy yang tergolek lemah tak sadarkan diri dari jauh, tak mau mengganggu saat dokter menyuntikkan sesuatu pada kantung infus Lucy. Tangan dokter itu memencet pelan pergelangan tangan Lucy sambil terus melihat jam tangannya. Dokter itu mendesah pelan tak lama kemudian lalu keluar menemui orang tua Lucy.

Leonne tahu hasilnya tidak baik karena ibu Lucy mulai menutup mulutnya dan menangis. Ayahnya tetap tegar mendengar penjelasan dokter, sambil merangkul bahu istrinya yang terus menangis. Mungkin mencari pegangan untuk dirinya sendiri.

"Sungguh sulit mencari pendonor hati" sayup-sayup Leonne mendengar dari balik pintu

"Waktunya tidak akan lama lagi" tambah dokter itu

Pandangannya kembali pada Lucy yang terbaring diam. Mengingat serangkaian tes yang ia dan orang tua Lucy coba lakukan untuk menjadi donor bagi Lucy namun tak satupun dari mereka yang bisa. Leonne mendekati sisi ranjang dan menggenggam lembut tangan Lucy yang tergolek lemah. Ia berharap ada mukjizat agar kekasihnya dapat kembali seperti sedia kala.

Leonne memutuskan akan melakukan apapun untuk Lucy. Ia akan mengabulkan semua permintaan Lucy. Sebelum waktunya habis.

Ia berkendara 2 jam dari New York ke pantai Fire Island untuk memenuhi keinginan Lucy melihat matahari terbit. Mereka duduk di tepi pantai Fire Island semenjak subuh.

"Tampat ini indah sekali Leonne, terima kasih sudah membawaku kesini" Lucy berkata sungguh-sungguh. Matanya memancarkan kebahagian yang menular pada Leonne.

"Aku tahu kau akan menyukainya" jawab Leonne sambil berbaring diatas pasir yang berkilauan terkena bias cahaya matahari di pantai Fire Island. Ia senang melihat Lucy bahagia. Walau air mata menitik di sudut mata Leonne.

Rambut Lucy yang panjang berterbangan tertiup angin. Leonne masih terpesona dengan kecantikan Lucy, walau kulitnya mulai memucat dan tubuhnya yang sudah kurus Lucy tetap mempesona. Netra coklat mata Lucy, tak pernah surut menerbitkan semangat pada Leonne.

Leonne kembali duduk dan mendorong kepala Lucy untuk bersandar di pundaknya. Lucy melingkarkan tangannya pada lengan Leonne mencoba mencari kehangatan disana. Mereka duduk terdiam cukup lama memandangi gelungan air biru yang terus berkejaran diujung sana.

"Matahari sudah tinggi, ayo kita kembali" ucap Leonne akhirnya. Namun Lucy diam.

"Aku pasti akan di euthanasia oleh ayahmu Lucy bila ketahuan membawamu kabur" lanjut Leonne lagi. Namun Lucy tetap diam.

Leonne mengelus tangan Lucy yang dingin dan menoleh, ia mendapati mata Lucy yang terpejam. Rasa khawatir mulai merayapi Leonne.

"Lucy?" Leonne coba memanggil kekasihnya.

Tangan Lucy terkulai lemas dan Leonne mulai menangis memeluki tubuh kekasihnya yang sudah tidak bergerak. Leonne tahu waktu Lucy tidak akan lama lagi namun pada saatnya tiba pun ia tetap hancur berkeping keping.

Teriakan Leonne sungguh memilukan.

*

*

Kursi kursi telah dipenuhi oleh mereka yang datang melayat. Lucy terbaring didalam peti putih berukir, ditangannya tergenggam setangkai bunga mawar putih. Ia sudah tenang. Tidak ada sisa kesakitan disana, hanya senyuman.

Eulogi yang dibacakan oleh ayah Lucy membuat beberapa orang menunduk dan mengusap air mata. Mengingat Lucy adalah pribadi yang menyenangkan. Semua orang tidak menyangka saat Lucy di diagnose terkena Limfoma dan  pergi dalam usia yang sangat muda.

Leonne dan orang tua nya duduk berdampingan di barisan depan. Balia menggenggam tangan Leonne lembut memberikan kekuatan. Ia tahu dari pandangan anak semata wayangnya yang kosong, Leonne sangat kehilangan Lucy.

Teringat jelas bagaimana Leonne bersikukuh melawan ayahnya demi mendampingi Lucy di rumah sakit. Berkali-kali ia kabur bila ayahnya melarang ia pergi menemui Lucy sampai akhirnya ayah Leonne angkat tangan dan menyerah membiarkan Leonne dengan keras kepalanya pergi.

Lucy telah membawa cahaya pada sekitarnya. Terutama pada Leonne.


*

*


"Sir...?" Dante yang dari tadi berdiri didepan Leonne memandang khawatir pada tuannya.

"Ada apa?" tanyanya enggan sambil menegakkan kembali kepalanya yang sakit

"Apa anda baik-baik saja?" tanya Dante balik

"Sialan...memangnya aku kenapa? Uruslah urusan mu sendiri keparat" Leonne berang

Leonne tidak ingin terlihat lemah bahkan didepan Dante, tangan kanannya. Kelemahan hanya membawa kepada kehancuran. Sungguh dia ingin sekali membunuh semua kelemahan yang ada pada dirinya hanya untuk menjadi seorang Romano yang sesungguhnya, namun kenangan akan Lucy selalu membawanya ke titik terendah.

Dante hanya menggangguk dan pergi meninggalkan Leonne sendiri. Ia sudah paham keadaan tuannya karena ia sudah bersama Leonne cukup lama.

Dante naik ke lantai dua hanya untuk memastikan tawanan tuannya tidak lari kemana-mana walaupun kamarnya terkunci dari luar. Hanya prosedur saja.

"Apa yang pria gila itu inginkan dariku?" gumam kate dalam hati. Ia sudah berbaring telentang dengan pakaian lengkap. "Pria itu tampan dan berkuasa sepertinya, cukup untuk membuat para wanita berlutut dibawah kakinya" renung Kate lagi. 

Kate mendengar suara kunci yang diputar dan pintu yang membuka. Untung lampu sudah dia padamkan. Cepat-cepat ia merubah posisinya dan berpura-pura tidur sambil mendengkur. Yakin siapapun yang masuk tidak bisa melihat aktingnya walaupun payah.


^o^ please vote and komen ya gaes..supaya aku gak syedih lagi....


You are mineWhere stories live. Discover now