5. Keputusan

46 2 0
                                    

🍭🍭🍭

Mungkin orang-orang akan menyebutku gila, tidak punya perasaan, ibu yang jahat, dan lain-lain. Mana bisa seorang ibu menitipkan bayi tanpa rasa berat di hati. Dan semua itu hanya karena menghindari gunjingan orang-orang sekampung?

Tapi apa peduliku?
Mereka hanya bisa menilai. Mereka tidak pernah merasakan hidup di lingkungan tempat tinggalku, dimana kegemaran mereka adalah mengomentari kehidupan orang lain.
Mereka tidak pernah berada di posisiku seperti saat ini. Terjebak hamil diluar nikah. Kemudian tidak diterima di keluarga pria. Terasa belum cukup, sang ayah dari bayi pun tidak bisa melakukan apa-apa karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan.

Jika bertukar tempat, apakah mereka sanggup menjalani?

Bahkan seorang pribadi yang sesempurna mungkin yang bisa dilakukan manusia pun tidak akan lepas dari kritikan mereka, apalagi pendosa. Ah, benar-benar lingkungan yang tidak sehat.

Huh.. Biarlah.
Saat ini aku sedang berkemas.
Sudah setahun aku tidak pulang. Terakhir kali waktu Lebaran tahun kemarin.
Aku hanya akan pulang sebentar, agar mereka tahu bahwa aku baik-baik saja.
Aku hanya tidak mau mereka mengkhawatirkan diriku.

Soal Omar, untuk saat ini aku akan sembunyikan dulu. Sementara itu aku akan mencari cara untuk memberitahu orang tuaku.

Setelah memasukkan potongan pakaian terakhir serta beberapa bungkus oleh-oleh ke dalam tas pakaian, kemudian menarik retsletingnya, aku pun bergegas ke stasiun.

Keputusanku sudah bulat. Rencanapun telah tersusun rapi.
2 minggu di kampung, kemudian kembali. Selanjutnya aku akan membawa Omar dan hidup berdua di kota lain.
Tabungan ku lumayan cukup untuk menjalankan rencanaku.
Tidak ada yang tahu tentang rencanaku ini.
Bahkan sahabatku Zain pun tidak tahu dengan rencanaku untuk mengasingkan diri.

Soal Edwin aku tidak memikirkannya lagi. Bukannya aku tidak peduli. Terkadang aku pikir, akan terasa mudah jika aku menghadapi masalah ini bersamanya. Tapi apa boleh buat, kesehatan Edwin sepertinya semakin memburuk. Dan aku tidak mau merendahkan diri untuk mengemis perhatian dari keluarganya. Tidak, setelah kejadian waktu itu.

Waktu itu aku nekat pergi menjenguk Edwin yang baru saja mengalami kecelakaan, sekalian untuk memberitahukan kehamilanku kepada keluarganya.

Tapi seperti yang sudah kuperkirakan sebelumnya, mereka tidak mengijinkan aku bertemu Edwin. Yang aku dapat hanyalah penolakan serta kemarahan mereka. Aku di usir secara kasar didepan banyak orang. Tak cukup, mamanya Edwin bahkan sampai melemparkan sepatunya ke arahku. Berharap kepada kakaknya pun sama saja.
Yuriko yang saat itu sedang mengobrol dengan temannya Vera, gadis yang rencananya akan dinikahkan dengan Edwin hanya menatap sambil mengangkat bahu. Tidak mau tahu sama sekali.

💢💢💢

Terakhir kali, yang aku dengar dari mba Vivi, bahwa Tante Yulinda, mamanya Edwin berbohong ketika Edwin berkeras ingin bertemu denganku. Keluarganya mengatakan bahwa aku sudah pulang ke kampung halaman dan sudah dinikahkan oleh orang tuaku.

Mengingat hal itu, makin bulat niatku untuk menjauh dari keluarganya serta kota ini.

"Tunggulah.. Aku pasti akan kembali setelah berhasil dan tidak akan ku perkenankan kalian menyentuh Omar" Batinku penuh dendam

🍥🍥🍥

2 jam sudah kutempuh perjalanan. Berarti masih 3 jam lagi baru sampai. Bus yang kutumpangi berjalan perlahan di daerah perbukitan. Sesekali kami melewati pesisir pantai, kemudian ada juga perkebunan cengkeh sepanjang 10 km.
Saat melewati daerah pertanian, udara terasa sejuk. Di sepanjang jalan kiri dan kanan terhampar bermcam-macam tanaman sayur yang subur. Sungguh permai.
Untuk sesaat kegundahanku sedikit teralihkan dengan suasana ini.

Hanya sebentar. Karena selanjutnya pikiranku kembali kepada anakku Omar. Aku rindu anakku.

"Ya Allah, tolong jaga anak yang Engkau titipkan kepadaku"."Semoga dia aman-aman saja selama aku tidak ada."

🍃🍃🍃

Sebenarnya sangat sulit bagiku untuk menitipkan Omar di Panti Asuhan, tapi aku juga tidak tahu cara menghadapi orang tuaku.

Satu hal yang aku tahu pasti, adalah mereka pasti akan syok berat jika aku pulang membawa seorang bayi. Tanpa ayahnya pula. Terutama mamaku.

Kemudian cerita akan menyebar ke seluruh pelosok kampung tanpa terkendali. Pastinya ceritanya sudah ditambah-tambah. Lalu Mamaku akan depresi, sakit, masuk RS.

Iiih.. Membayangkannya saja aku ngeri.

"Omar, kasihan nasibmu nak."

"Maafkan mamamu yang pengecut ini, sayang".

"Sabarlah, Mama janji tidak akan lama."

"Mama akan segera datang menjemput mu dan kita akan pergi jauh."

💢💢💢💢

Bersambung yaa.. 🙏😀

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kembalikan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang