No. 2

62 7 3
                                    

Mungkin saat itu adalah hal yang paling membahagiakan sebelum ia terdiagnosis sakit. Meski saat ini bibir pucatnya masih bisa tersenyum dan sesekali ia bilang,

ia merindukan kedai langganan kami.

ia merindukan hitungan bintang.

ia merindukan sapaan sang fajar.

Yang kulakuan hanya memberitahu keadaan sang fajar masih sama, takaran teh dengan kopi kita masih sama, hanya saja keadaannya saja yang tak sama. Kini kau terbujur lemah sementara semesta masih berputar seperti biasanya.

Tak mampu berbuat banyak, ketika mendengar bahwa kondisinya semakin parah, penyakit kanker yang di deritanya memakan seluruh tenaga, badannya semakin hari semakin kurus, dan mata yang biasa terjaga saat pagi buta kini justru tenggelam dalam lelap.

Tak menyangka bahwa malam itu akan menjadi malam-malam panjang terakhir kita yang bisa kulakukan hanya membawanya melihat bulan berharap dapat menghitung bintang untuk yang terakhir kali namun malam itu tak ada bintang, entah sejak kapan bintang-bintang mulai bersembunyi di balik gumpalan awan.

Aku tak bergeming saat alat-alat mulai terpasang di tubuhnya. Serenta inikah dia? Apakah rasanya sakit? Kalau begitu, biar aku saja yang menggantikannya. Yang kulakukan hanya berbicara pada diri sendiri.

Rutinitasku biasa memberi tanda pada kalenderku yang bertulis "Check Up" dan khusus hari ini tulisan tersebut akan terganti menjadi "kepergiannya."

Sore itu tanda yang tak pernah kuinginkan akhirnya tertuang dalam kalenderku. Kutatap tanggal tersebut lalu melihat tanggal-tanggal berikutnya tanpa kehadiranmu.

Sekelebat ingatan muncul di benakku saat kau duduk di kursi roda sembari menikmati angin laut, kau pernah berkata,
"ada satu hal lagi yang Ibu sukai selain matahari."

"Apa?"

"Kelahiranmu."

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang