Kita diberikan kehilangan agar tahu bagaimana rasanya belajar merelakan, tapi bagiku prinsip itu tidak berlaku sama sekali. Bagiku diberikan kehilangan adalah cara Tuhan menegur aku agar tidak terjadi penyesalan, dan ternyata kehilangan kamu adalah penyesalan terbesar bagiku.
***
A
ngin yang berhembus ke arah barat itu dibentengi oleh tubuh mungil Sera.
Sedari tadi, Sera berkutat dengan pensil hitam dan sketchbook tebal di pangkuannya. Sebagian kertas putih itu diisi oleh sketsa wajah seorang laki-laki yang sedang tersenyum penuh kenangan.
Dan sempurna, gambaran Sera selesai. Sera Kireya, tulisan diujung lembar kertas itu menjadikan gambaran Sera penuh ciri khas. Sera menutup sketchbook itu lalu memeluknya dengan erat, Sera menghamparkan tubuhnya di rerumputan hijau sambil berhadapan langsung dengan awan kelabu yang setia menatapnya dari atas sana, dan pandangan Sera kembali kosong.
Satu tahun terakhir, rasanya Sera tidak memiliki alasan lagi untuk bahagia, hatinya seakan kelu, tidak dipenuhi tawa ketulusan lagi. Sera selalu menyesak sendirian, menahan rindu kepada seseorang yang sudah lama terkubur didalam tanah. Sera hanya bisa menangis dan menggambar wajah penuh kenangan itu, yang jelas-jelas hal itu hanya akan semakin menyiksa dirinya.
Walau Sera memiliki wajah yang manis dan penuh idaman laki-laki, tapi jika Arga melihatnya pasti dia akan bilang bahwa Sera tidak secantik dulu lagi, wajahnya sering pucat, bibirnya jarang tersenyum kecuali bersama Rena sahabatnya, berbeda dengan Sera yang dulu.
Kepergian Arga - sahabat cintanya satu tahun terakhir ini benar-benar membawa dampak yang tak biasa.
Dan kenyataan terburuknya, ternyata pindah ke kota Bandung bukan pilihan yang tepat untuk Sera agar bisa melupakan Arga. Sera merasa semakin tersiksa, kebiasaan lamanya mengunjungi Arga di pemakaman sudah tidak bisa dia lakukan lagi, setidaknya jika di Jakarta Sera bisa melepas rindu dengan memeluk batu nisan yang bertulisan nama Arga, atau sekadar bercerita didepan kuburan Arga. Terdengar gila namun nyata.
Sekarang, Sera hanya bisa berada ditempat yang dia pilih untuk melepas rasa rindunya pada Arga, sebuah tempat yang menyajikan rerumputan hijau yang luas dan pemandangan pohon rindang dibawahnya. Tempat ini tidak terlalu buruk, dulu Arga sangat menyukai tempat hijau seperti ini. Dengan tempat yang hijau, kita bisa menggambar dengan imajinasi yang liar. Kata Arga kala itu.
Ditempat ini, Sera sering melakukan kebiasaan gila, yaitu bermonolog pada awan, dengan fasihnya Sera menyuarakan perjalanan hidupnya panjang lebar pada langit-langit disana, menganggap langit seolah-olah Arga yang bisa mendengar ceritanya.
"Maaf ya Ga baru bisa datang kesini lagi, soalnya kemarin sibuk banget ospek." Sera membuka suaranya setelah sekian lama.
"Dan gak kerasa besok udah mulai kuliah lagi. Hari pertama menjalani aktivitas baru tanpa kamu Ga,"
"Tapi gapapa, kamu gausah khawatir, masih ada Rena kok disamping aku," ucap Sera seolah-olah menguatkan dirinya.
Benar, Sera masih memiliki Rena, sahabat terbaiknya selain Arga dan ... Gintar tentunya, sahabatnya yang sekarang bahkan Sera ragu masih menganggap Gintar sahabatnya atau bukan.
"Ga, kalo kamu masih ada dan tau kalau Gintar sering bikin aku sedih, pasti kamu bakal pukul dia sampe mati."
Sera terdiam beberapa saat, lalu menghembuskan nafas kasar.
"Kenapa ya? Gak ada kamu bikin kita semua terpecah belah Ga?" Sera selalu merapalkan kalimat itu, alasan dibalik perpecahan persahabatan mereka.
Dulu saat di Jakarta, Sera, Arga, Rena dan Gintar adalah sahabat karib, kedekatan mereka layaknya saudara sedarah. Mereka memiliki kegemaran yang sama, yaitu menggambar, cita-cita mereka juga tidak jauh dari seorang seniman dan kurator, terdengar konyol namun mereka bisa sekompak itu, dan hal yang paling penting, Arga, Rena dan Gintar adalah alasan Sera selalu tersenyum. Terlebih dibalik kondisi keluarga Sera yang tidak begitu baik, ibu Sera sibuk bekerja, dan Sera kehilangan sosok seorang ayah sejak kecil, Sera mengetahui ayahnya hanya dari sebuah foto, dan itu membuat Sera selalu merindukan kasih sayang. Tapi karena Arga, Rena dan Gintar, hal yang Sera butuhkan terpenuhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK, KOMA
RandomPandu menarik tangan Sera kasar hingga kaki gadis itu melesat. Tanpa basa-basi, Pandu mengeluarkan beberapa lembar foto dan melemparkannya ke wajah Sera, sehingga membuat gadis itu tertegun. "Kalo selama ini lo masih nganggap gue cuma sebagian dari...