TEMAN-teman Tiva sudah semua pulang, kecuali Zaya yang tiba-tiba ingin menginap di rumah Tiva karena besok hari Sabtu dan dia mengajak Jeana juga untuk menginap. Jeana awalnya menimbang-nimbang karena Ia baru mengenal Zaya dan juga Tiva, bisa saja kan kecanggungan terjadi di antara mereka, dan malah Jeana menjadi tidak nyaman, dan banyak pertimbangan-pertimbangan lain. Tapi akhirnya Jeana mengiyakan ajakan Zaya.
Sekarang mereka sedang berada di kamar Tiva, Zaya duduk di karpet dengan punggung yang menyender ke sisi tempat tidur, tangannya sibuk mengutak-atik channel TV dengan remote ditangannya. Jeana dalam keadaan tengkurap di kasur empuk milik Tiva juga melihat ke arah TV dengan sesekali memainkan ponselnya untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Sedangkan si empunya kamar sedang asik duduk di sudut kamar dengan novel romansa yang baru dibelinya beberapa hari lalu.
"Eh liat deh!" Suara Zaya membuat kedua temannya melihat ke arah TV dan menghentikan aktivitas mereka sejenak, "Breaking news Rinto Fernandi di penjara 15 tahun karena kasus korupsi." Zaya membaca keterangan di bawah, kepalanya refleks menggeleng berkali-kali, "Emang gak ada ya petinggi-petinggi yang benar-benar bersih gitu? Gak habis pikir deh gue."
"Yaa kan gak semua orang juga kayak gitu." Tiva menyahut dari tempatnya.
"Tapi kasus ginian tuh gak habis-habis gitu bingung gue."
"Bisa ganti channel nya aja gak?" Kali ini yang menyahut dari atas kasur yaitu Jeana, Ia menatap layar TV datar.
"Emang kenapa?" Tanya Zaya. Jeana bergeming ditempat, tidak menjawab pertanyaan Zaya.
"Udah ganti aja jadi film action, atau kartun gitu." Tiva ikut-ikutan menyuruh Zaya, Ia menatap ke arah Jeana dan yang Ia lihat Jeana menghembuskan napas pelan ketika channel itu diganti. Lagi-lagi Ia melihatnya, lagi-lagi bukan orang lain. Mungkin bisa saja Tiva menebak dan mulai menghubung-hubungkan, tapi apa baiknya jika mendengar dari 'si punya cerita' langsung dari pada membuat hoax. Tidak, tidak sekarang tapi nanti.
Ponsel milik Tiva berdering berkali-kali di atas nakas, nakas tersebut berada persis di sebelah sofa yang sedang Tiva duduki. Tiva melihat layar, siapa yang menelponnya malam-malam gini dan mengutuk dalam hati kalau saja yang menelponnya bertanya mengenai tugas hari Senin padahal besok masih Sabtu. Seketika matanya terbelalak, dan buru-buru ke balkon kamar untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo?"
[Halo, Tiv?] Suara berat itu benar-benar menyejukkan untuk Tiva.
"Kenapa, Bi?" Iya, Biya yang menelpon.
[Gapapa.] Tiva dapat mendengar deru napas yang teratur dari seberang, sebelum Biya melanjutkan kalimatnya.
[Lo, lagi dimana?]
"Di rumah, kenapa?"
[Bisa kesini gak?]
"Kesini ke mana?"
[Ke kedai kopi yang di pertigaan depan rumah lo.] Tiva bukan gimana-gimana malah justru tertawa, Ia bingung ada angin apa yang membuatnya mengajak Tiva dan bukan yang lain?
"Sendiri emang?"
[Iya, gabut banget gue. Kan yang dekat sama kedai ini juga rumah lo, jadi gue telepon lo.] Tiva hampir berpikir aneh-aneh, untung saja sudah ditepis oleh Biya jadi dia tidak akan kikuk ketika bertemu dengan Biya.
"Tapi ada—"
[Zaya sama Jea suruh ajak aja.] Ternyata Biya tahu pikiran Tiva.
"oke tunggu ya, kita siap-siap dulu."
[Sip, ditunggu.] Dan telepon itu dimatikan oleh Biya.
Tiva kembali lagi ke kamar dan malah membanting tubunya ke kasur bukannya bersiap-siap untuk ke kedai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTERI! [ON HOLD]
Teen FictionAku pergi karena cita-cita, atau karena dia? ANTERI, 10 Juli 2018