DISINI lah Tiva dan Edgar, di warung pecel lele. Tadi, setelah Edgar akhirnya menjemput Tiva, di perjalanan Edgar bilang Ia lapar habis futsal dan bertanya kepada Tiva kalau makan dulu bagaimana, akhirnya di iyakan oleh Tiva dan berakhir di warung pecel lele.
Tiva dan Edgar duduk berhadapan, sedari tadi Edgar sedikit-sedikit melihat ke arah Tiva. Memperhatikan Tiva yang sedang makan, Ia tersenyum sendiri.
"Lo emang suka bebek?" Ujar Edgar sambil menyuap nasi uduk dan pecel lelenya.
"Iya Kak, nama sih boleh pecel lele. Tapi kalo gue makan di warung-warung pecel lele gitu, gue pasti nyari bebek dulu. Kalo gak ada bebek, gue ke ayam, lele itu pilihan akhir banget." Edgar mangut-mangut mendengarkannya, Ia senang ada kemajuan untuk dirinya yang sudah mulai tahu tentang Tiva.
"Kata Dio, lo di rumah suka bikin kue ya?" Tanye Edgar lagi, dan dijawab dengan anggukan oleh Tiva.
Edgar menyeruput es jeruknya sebelum bertanya lagi, "Kata Dio, lo takut sama kucing ya? Kenapa? Padahal mereka lucu loh."
Tiva terdiam mendengar pertanyaan Edgar, berpikir sejenak. Apa saja yang sudah diceritakan Dio tentang Tiva sampai Edgar tahu sebegitunya. "Kak Dio cerita apa aja ya?"
Edgar mulai menyadari situasinya, Tiva kurang suka jika kakaknya, Dio banyak bercerita tentang dirinya kepada orang lain. "Enggak, cuma itu aja."
"Pulang yuk Kak. Takut kemaleman, gak enak sama orang rumah." Tiva cepat-cepat menghabiskan es tehnya dan mengambil tas disebelahnya, lalu berdiri.
"Yaudah kalo itu mau lo, gue nurut aja, gue bayar dulu ya." Edgar ikut bangkit dari tempat duduknya, lalu Ia membayar makanannya sementara Tiva menunggu.Lalu berjalan mendahului Tiva ke motornya.
***
Pagi ini matahari tak terlihat, langit pun tak secerah biasanya, kelabu yang nampak. Hujan gerimis mewarnai Kota Jakarta yang membuat orang-orang sekitar malas untuk beraktivitas, apalagi anak sekolah. Pasti ada saja alasannya, mulai dari tidak ada jas hujan, sampai takut sakit karena sudah mau memasuki Ujian Akhir Sekolah.
Begitu juga Tiva, dan Dio. Pukul 06.28 baru sampai sekolah sedangkan Alba sudah sampai sekolah 10 menit yang lalu. Tiva melipat jas hujannya dan Ia taruh di bawah jok motor, sedangkan Dio yang merasa gengsi untuk memakai jas hujan mengambil topinya dan memakainya sembari menunggu Tiva.
Setelah itu mereka berjalan beriringan sepanjang koridor sekolah, kebetulan kelas mereka satu lantai. Selain mengobrol ringan dengan Dio, Tiva sebenarnya ingin bertanya mengenai Edgar. Tiva menimbang-nimbang sebentar, dan akhirnya, "Mas."
"Kenapa Tiva?" Jawab Dio.
"Gue mau nanya Mas, soal temen lo."
"Edgar?"
"Iya, lo udah cerita banyak ya tentang gue?"
"Abis dianya kepo." Jawab Dio santai.
"Mas gimana sih? Kok gampang banget cerita-cerita gitu─"
"Pagi Tiva!" Suara itu, suara cempreng itu, suara yang sangat Tiva tahu siapa pemiliknya. Ia menoleh kebelakang, "Lo mendung-mendung gini, ceria banget sih." Tiva berjalan ke belakang ke arah Zaya dan merangkulnya.
"Pagi Zaya." Ujar Dio sambil tersenyum ke arah Zaya. Zaya langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum sangat lebar, "Kak Dio, jangan bikin Zaya salting ih gak suka." Zaya memukul pundak Dio pelan.
Tiva yang berada di sebelah mereka bergidik ngeri, "Najis loh aku lihatnya." Lalu setelahnya Ia tertawa.
***
Hari ini, di kelas Tiva dan Zaya ada pelajaran Olah raga, tapi berhubung hujan jadi mereka olah raga di dalam ruangan. Dimana tempat Indoor ini dipakai untuk badminton dan speed climbing. Dan sering pula dipakai untuk POR (Pekan Olah Raga).
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTERI! [ON HOLD]
Ficção AdolescenteAku pergi karena cita-cita, atau karena dia? ANTERI, 10 Juli 2018