Part 3

4.7K 119 7
                                    

Bagaimana tidak merinding, bila bau yang tercium oleh hidungku adalah aroma minyak wangi yang biasa disemprotkan ke tubuh orang yang sudah meninggal alias mayat. Memang begitulah kebiasaan warga di kampungku dalam merumat jenazah. Bahkan untuk jenazah korban kecelakaan yang terluka parah atau yang sudah tak berbentuk, selain minyak wangi dan kapur barus, mereka juga menggunakan kopi yang ditaburkan ke tubuh si mayat. Baru aku tahu, ternyata kopi sangat manjur untuk menghentikan pendarahan dan meredam bau yang sangat menyengat.

Kutengok kanan kiri, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan yang tampak. Lampu dalam rumah tetangga yang berada di sekeliling rumah sudah padam. Tinggal lampu teras yang sepertinya sengaja dibiarkan tetap menyala. Mungkin mereka sepemikiran denganku, memilih menghemat energi untuk meminimalisir tagihan listrik.

Riuh tawa anak-anak bujang yang biasanya berkumpul sambil bermain gitar di pos ronda ujung gang pun tak lagi terdengar. Ah ... pasti saat ini mereka lebih memilih bergelung di dalam selimut karena suhu udara malam ini memang sangat dingin. Ditambah hujan yang turun rintik-rintik menambah suasana malam ini begitu mencekam.

"Dik ...." Sentuhan lembut Mbak Sekar menyadarkanku dari lamunan.

"Eh iya, Mbak," sahutku tergagap.

"Kok malah melamun?" tanyanya lagi. Lembut namun dengan sorot mata yang tajam menusuk.

"Eh anu, Mbak, lagi mikir aja, tumben itu anak-anak yang biasanya pada main gitar kok gak ada suaranya. Biasanya daerah sini rame lho, kok malam ini sepi banget." Sengaja aku beralasan demikian, agar Mbak Sekar dan Mas Prayoga tidak curiga karena saat ini aku sedang mengamati raut wajah keduanya.

"Mari, Mbak, Mas. Monggo silahkan masuk. Kita ngobrol di dalam saja, di luar dingin banget," ajakku.

"Matur suwun, Dek," ujar Mas Prayoga. Digandengnya tangan sang istri dengan penuh kasih.

Pintu kubuka lebih lebar untuk memberi mereka jalan. Setelah mereka melangkah masuk, segera kututup pintu dan mengiringinya menuju ruang tamu. Huff ... aku merasa tenang karena kecurigaan yang tadi sempat melintas di benak ternyata tak terbukti. Mereka manusia biasa bukan hantu seperti dugaanku semula. Kaki mereka tetap menapak tanah dan di bawah hidungnya juga terdapat cekungan.

"Monggo, Mas, Mbak, silahkan duduk, maaf kalau tempatnya berantakan. Si genduk lagi senang-senangnya main, jadi rumah gak pernah rapi." Sambil memunguti mainan yang berserak, kuajak mereka mengobrol.

"Iyo, gak opo-opo. Biasa wae, Dek. Bersyukur kamu masih bisa ngrasakke ndue anak." Hatiku berdesir mendengar ucapan Mbak Sekar, ada nada getir yang menyiratkan kesedihan di balik perkataannya.

Begitu mereka duduk, lampu yang sebelumnya menyala tiba-tiba pet ... mati. Alhasil ruangan yang sebelumnya terang benderang mendadak gelap gulita.

"Waduh ... maaf , Mas, Mbak. Lampunya kok ujuk-ujuk mati, ya. Padahal baru saja tiga hari yang lalu saya ganti." Kukemukakan alasan untuk menutupi rasa bersalah.

Untung hanya lampu ruang tamu yang mati. Sedangkan lampu yang berada di teras dan ruang tengah tetap menyala. Pintu depan yang tadi sempat kututup kembali kubuka lebar, pun dengan gorden penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah segera kusingkap. Lumayanlah walau temaram ada sedikit cahaya yang masuk, menerangi tempat kami berada.

Kuperhatikan, kedua tamuku ini memang tidak banyak bicara. Dari tadi aku terus yang memulai percakapan. Sedang mereka hanya menimpali seperlunya. Apakah memang sifatnya yang pendiam? Padahal setahuku, Mas Prayoga yang kukenal dulu adalah sosok yang humoris. Bersamanya tiada hari tanpa becanda. Ah ... itukan dulu, semasa dia masih muda. Waktu memang bisa merubah kepribadian seseorang. Mungkin saja Mas Prayoga terbawa sifat istrinya.

ORDER RIAS DARI ALAM GAIBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang