DUA PULUH SATU

1.4K 116 5
                                    

Part ini dipersembahkan untuk kawanku yang menanti2 part ini titaalisa

Happy reading!

-Kahfi-

“Tapi kau harus langsung kembali ke hotel tidak lebih dari 30 menit. Kau harus istirahat karena besok pagi kita pulang ke Barcelona, dan kau harus-“

“Jadi kau mengizinkanku?” tanyaku tak sabar.

“Ya aku izinkan, tapi-“

“Muchas gracias mister!” potongku lagi, kemudian memeluknya sebelum langsung keluar dari ruang ganti stadion.

Salah satu official tim akhirnya mengizinkanku untuk pergi ke Queen’s Walk sebentar untuk menemui dokter Hilya disana. Begitu mendapat izin, aku langsung melesat ke Westminster dengan taksi yang sudah kupesan dari tadi.
Perjalanan dari Stamford Bridge ke Queen’s Walk hanya sekitar 16 menit ditempuh dengan mobil.

“Oh, kamu udah ninggalin dokter Hilya sendiri?” tanyaku kepada Aji di seberang sana.

“Iya iya ini udah mulai deket nih. Kamu pantau terus, pastiin dia nggak apa-apa,” aku mulai cemas, karena Aji sendiri takut dokter Hilya kenapa-napa.

“Ya udah, ini dah mau sampai, assalaamu’alaikum,”

Aku menghela nafas, berusaha untuk tenang karena sebentar lagi aku akan menemui perempuan yang sangat sangat aku cintai.

Begitu sampai di kawasan Queen’s Walk, aku langsung melangkahkan kaki menelusuri jalan panjang nan terkenal ini. Masih ada beberapa orang yang menurutku masih bisa dihitung dengan jari yang berlalu lalang di kawasan ini. Dari kejauhan, aku bisa melihat seorang perempuan berhijab yang sedang duduk di salah satu kursi panjang di sepanjang jalan ini.

Aku memperhatikan dokter Hilya dari jarak yang tidak terlalu jauh sebelum menghampirinya, sekaligus menenangkan diri karena aku sendiri pun sedang gugup.

“Dokter Hilya, are you okay?” tanyaku, kemudian membungkukkan badan kearahnya.

Dokter Hilya terlihat menyipitkan matanya memandangku. Aku terkejut saat melihat mata dan pipinya yang terlihat basah oleh air mata. Dia pasti habis menangis karena ketakutan. Bagus sekali Kahfi.

“M-mas Kahfi?”

Aku menganggukkan kepala pelan, membenarkan pertanyaannya.

“I-ini...ini Mas Kahfi?” tanyanya lagi.

“Iya dok, ini saya, Kahfi,” jawabku.

“Ah Ya Allah,” ucapnya, menghembuskan nafas lega, kemudian kembali menangis.

Aku semakin kaget bukan main, karena dokter Hilya tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis lepas.

Aku mengubah posisiku menjadi duduk disampingnya dan tak lupa menjaga jarak. Sementara dokter Hilya masih menutup wajahnya.

“Dok, dokter nggak apa-apa, kan?”

“Saya takut banget, saya panik banget Mas. Tadi tadi a-ada Farah sama Mas Aji, ta-tapi mereka tiba-tiba hilang,” dokter Hilya sudah lebih tenang, dan mencoba menjelaskan apa yang terjadi padanya. Aku bisa merasakan rasa takut dan paniknya sehingga dia menangis disini.

“Laki-laki macam apa aku? Malah membuat perempuan yang begitu aku cintai menangis di jalanan seperti ini?!” gerutuku dalam hati.

Jujur aku sangat menyesal atas rencana bodohku ini. Gagal sudah rencana indahku yang sudah kurencanakan sejak kemarin.

“Tenang dok, sekarang ada saya, jadi nggak usah takut,” kataku menenangkan, sementara dia hanya diam tak menyahutku.

Goal of Mine [SUDAH DIBUKUKAN & DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang