TIGA PULUH SATU

1.5K 120 6
                                    

-Hilya-

Entah sudah berapa kali aku menghembuskan nafas gelisah di dalam toilet kamarku dan Mas Kahfi. Aku masih ragu untuk keluar toilet, padahal aku sudah selesai bersih-bersih dan berganti baju dengan piyama.

“Duh, mana belum shalat Isya,” gumamku.

“Sayang, kamu masih di dalam? Kok lama? Kamu belum shalat Isya lho,” tanya Mas Kahfi dari luar yang membuatku semakin gugup, ditambah dengan kata “sayang” yang membuatku malu sendiri di dalam sini.

Aku menghela nafas kemudian menghembuskannya pelan sebelum akhirnya aku keluar dari toilet. Begitu keluar dari toilet, aku melihat Mas Kahfi yang sedang terbaring santai sambil memainkan ponselnya dengan pakaian pengantin yang masih melekat di tubuhnya.

“M-mas belum ganti baju?” tanyaku sambil mengenakan mukena.

Mas Kahfi mengalihkan perhatiannya kepadaku kemudian tersenyum. “Ini mau. Kan tadi nunggu kamu,”

Aku tersenyum malu karena pasti dari tadi dia menungguku keluar dari toilet.

“Maaf ya Mas tadi aku lama banget,”

“Iya gapapa. Udah kamu shalat dulu,” ujarnya kemudian masuk kedalam toilet.

Sepeninggal Mas Kahfi, aku langsung melaksanakan shalat Isya yang tertunda karena acara resepsi malam ini. Mas Kahfi sendiri sudah shalat Isya saat tadi ditengah acara bersama beberapa saudara dan teman lelakinya, juga Ayah dan Apak.

Setelah menyelesaikan shalat Isya dan berdoa, aku langsung merapikan peralatan shalatku. Aku dapat merasakan Mas Kahfi yang berada dibelakangku, tepatnya sudah menempati kasur yang akan ku tempati- maksudku kami tempati malam ini.

“Kerudung kamu gak dibuka?” tanya Mas Kahfi saat aku menyimpan peralatan shalatku di meja yang berada di pinggir ranjang.

Aku memainkan bola mataku mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mas Kahfi perihal kerudungku. Aku tak mungkin menjawab malu bukan? Karena Mas Kahfi pasti akan balas menjawab, “Kan aku udah suami kamu, kenapa malu?”

“Eee..ini Mas, aku..aku..dingin! Ya, aku kedinginan. Jadi, aku tidurnya mau pake kerudung aja,” jawabku, berharap Mas Kahfi tidak curiga denganku.

Aku sempat khawatir karena Mas Kahfi hanya diam setelah mendengar alasanku. Namun tak lama Mas Kahfi tersenyum dan mengangguk paham.

“Ya udah kalau gitu. Terus kenapa malah berdiri terus?” aku mengerjapkan mataku mendengar pertanyaannya. Baru sadar bahwa aku masih berdiri di pinggir ranjang.

“Oh i-iya,”

Dengan gugup aku mendaratkan bokongku di pinggiran kasur, kemudian membaringkan tubuhku. Aku yakin sekali pasti kegugupanku sangat kentara, karena aku bisa merasakan tubuhku sangat kaku sekarang.

Aku menoleh kepada Mas Kahfi yang sangat bisa kurasakan memperhatikanku dari jarak yang cukup dekat, karena sekarang kami berada dalam satu kasur yang sama.

“M-mas jangan ngeliatin terus, aku malu,” ujarku, kemudian mengalihkan pandanganku ke arah lain. Sungguh aku tak bisa memandangnya terlalu lama.

Mas Kahfi tertawa kecil dan memajukan tubuhnya sehingga sekarang jarak diantara kami semakin tipis.

“Eh Mas!” seruku sambil menarik tanganku saat tiba-tiba Mas Kahfi memegang tanganku.

Mas Kahfi terlihat kaget karena refleksku tadi. Aku pun tersadar bahwa apa yang baru saja kulakukan itu tidak pantas. Karena memang wajar saja bukan jika seorang suami ingin menggenggam tangan istrinya?

Goal of Mine [SUDAH DIBUKUKAN & DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang