Langit kota Seoul mulai menggelap, sang raja siang bersiap untuk kembali pada peradaban.Langit yang semula berwarna cerah, telah berubah warna jingga. Sang matahari akan tergantikan oleh rembulan, sang ratu malam.
Langit yang semulanya dihiasi oleh burung-burung kecil yang beterbangan, sekarang menjadi sepi.
Tak ada suara kicauan burung. Dan secara perlahan, langit menggelap seiring waktu berjalan. Sebentar lagi, sang rembulan kembali menyapa penghuni bumi.
Sesaat lagi, sang matahari akan benar-benar kembali ke peradabannya. Sebentar lagi, bintang-bintang akan bermunculan untuk menemani rembulan.
Suasana di kota ini tak akan berubah, walau malam bersiaga untuk menyapa. Penghuninya masih saja sibuk dengan berbagai pekerjaan, yang digelutinya. Mereka tidak mengenal lelah dan letih, tak memedulikan kondisi tubuh mereka yang mungkin membutuhkan istirahat sejenak.
Begitu juga dengan otak mereka, yang mungkin seharian ini digunakan untuk berpikir. Tapi nyatanya, semua penghuni kota Seoul tidak butuh istirahat. Hampir keseluruhan penghuni di kota maju ini, adalah workaholic.
Tak jauh beda dengan pria cantik, yang kini tengah berdiri di halte menunggu bus datang.
Tangannya mendekap buku-buku tebal, dan tas yang menyampir di bahu sempitnya. Pria ini menghembuskan nafas pelan, matanya yang dibalut oleh kacamata minus itu terus menatap kanan dan kiri. Mengharapkan bus segera saja berhenti di halte itu.
Ia melirik jam yang masih melingkar manis di tangan kirinya, pria ini menggigit bibir bawahnya. Tak bisa tenang, karena dirinya merasa takut. Takut terlambat. Bukan untuk kuliah, tapi untuk bekerja.
Pria ini, Park Jimin terus menggigit bibir bawahnya. Panik. Karena bus belum juga sampai, mengingat saat ini ia harus segera sampai ke tempatnya bekerja. Jimin menggeleng pelan, ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia tidak mau mendapat masalah, lebih parahnya ia dipecat.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jimin segera berlari. Ia sudah tidak punya waktu lagi untuk menunggu bus, ia tidak mau terlambat bekerja. Sepasang kaki jenjangnya terus berlari, tidak peduli dengan rasa lelah yang hinggap di tubuh mungilnya karena sehabis kuliah.
"Astaga, jangan lagi! Jangan lagi, Tuhan!"
Jimin memasuki sebuah restoran Italia, tempatnya bekerja. Dengan nafas yang masih terputus-putus, Jimin pergi ke ruang ganti. Segera bersiap-siap untuk bekerja, meletakkan beberapa buku yang tadi dibawanya dalam loker. Salah satu tangannya mengambil seragamnya.
Tak butuh waktu lama, Jimin keluar dari kamar mandi dengan balutan seragam kerjanya. Ia menghembuskan nafas lega, setidaknya hari ini Jimin tak mendapat omelan atau pun cacian dari atasannya karena keterlambatannya itu.
Jimin pun membungkuk sopan, melihat atasannya berjalan melewatinya. Pria ini kembali melangkah menuju ke pintu utama dari restoran itu, untuk menyapa pelanggan-pelanggan yang memasuki restoran gaya Italia itu.
Senyumannya mengembang, membuat kadar ketampanan dan kecantikan pria ini kembali bertambah. Dengan senyuman lebarnya yang begitu tulus, Jimin menyapa para pelanggan restoran.
Ia mengelap kening, keringat mengucur deras karena sehabis berlari tadi. Manager restoran mendekati Jimin, menatap Pria itu dengan lekat.
"Bantu pegawai lain untuk melayani para pelanggan, Jim. Hari ini banyak pelanggan yang datang, pegawai lainnya kewalahan untuk melayani mereka."
"Iya, Manager Im."
***
Seorang pria berkulit tan pucat tengah menembakkan beberapa peluru, saat ini ia tengah berkonsentrasi menembakkan pelurunya pada sasaran. Ia mendesah, tak ada satu pun pelurunya itu mengenai sasaran. Pria itu, Jeon Jungkook marah akan hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR ||KOOKMIN||
Romance"Aku ini hanyalah seorang pria brengsek, yang telah mencintai pria cantik berhati malaikat sepertimu. Seorang pembohong yang tak pantas untuk bersamamu." _ Jeon Jungkook . . . "Kita pernah berkomitmen untuk saling terbuka, menceritakan semua masalah...