Hujan merintik semakin lama semakin deras. Seseorang datang dari balik pepohonan memayungi tubuhku yang sudah basah dari tadi akibat hujan yang sangat deras membasahi bumi seakan-akan ia sangat rindu.
"Sebaiknya kita pulang sekarang." ucap orang itu dengan suara khasnya yang berat dan serak-serak basah. Aku hanya diam menatap ke depan tak menghiraukan orang tersebut. Hingga hujan reda, aku pun beranjak dari tempat itu meninggalkan orang tersebut.
Aku mengeringkan tubuhku yang basah dan mengganti pakaian ku. Setelah itu aki pergi ke dapur untuk membuat kopi dan duduk di salah satu jendela apartemen yang menghadap ke sebuah taman yang tadi ku lewati. Tak banyak orang disana karena masih sangat pagi dan sangat dingin untuk keluar berjalan-jalan sebab itu sangat mudah bagi ku untuk menemukan orang yang memayungiku tadi. Ah dia ternyata masih disana, di trotoar tempat ia memayungiku. Mengapa dia masih disana? Apa dia tak kedinginan? Atau dia sedang menunggu seseorang? Dengan pakaian basah seperti itu? Ah peduli apa aku dengan dia, aku tak tahu namanya dan tak ingin berkenalan dengannya, meski tadi aku sempat berterima kasih. Hmm... Lebih baik aku siap-siap sebentar lagi jam kerja.
"Pagi, Nan," sapa Denny salah satu temanku di tempat kerja
"Pagi juga, bang," sahutku sembari tersenyum simpul.
"Wuih rajin amat jam segini udah bikin adonan kue. Biasanya juga jam segini belum datang," ucap Bang Denny setengah meledek. Aku hanya memanyunkan bibir menanggapinya.
"Nggak usah dimanyun-manyunkan gitu mulutnya, nanti tuh kue nggak enak," ucap Bang Denny
"Abang sih pagi-pagi udah bikin kesel," rengekku kesal
"Udah nggak usah kayak anak kecil," ucap Bang Denny yang semakin membuatku kesal
"Abang!" teriakku sambil siap-siap melempar pengaduk adonan ke wajahnya. Namun lemparanku meleset dan tak jadi kena Bang Denny, ia langsung ngacir pergi dari dapur. Aku pun melanjutkan bikin kue yang tertunda gara-gara Bang Denny.
Sesaat hening setelah kepergian Bang Denny. Salah satu tips yang ku yakini benar adalah saat kita memasak suasana hati kita harus tenang maka tercipta makanan dengan cita rasa yang enak. Berbeda dengan jika suasana hati kita sedang kacau maka yg tercipta makanan yang tak enak untuk dipandang dan memiliki cita rasa yang tak enak juga.
Suara pintu kamar utama yang kuketuk sambil membawa nampan yang berisikan hasil cake merah dengan white cream yang kubuat.
"Masuk" ucap orang dari dalam ruangan tersebut. Aku pun masuk kedalam ruangan tersebut.
"Oke. Nanda Fazra, hari ini kamu ingin mempresentasikan kue apa?" tanya pak Boss.
"Ehem.. Saya akan mempresentasikan kue...." belum sempat aku menjelaskan, pak Boss mendapatkan panggilan telepon dari kliennya.
"Oke Nan saya percaya dengan masakanmu enak dan kelihatannya tampilannya juga menarik. Jadi saya memperbolehkan masakanmu untuk disusun di etalase tapi untuk bulan ini saja," ucap pak Boss
"Siap, pak!" ucapku dengan semangat. Gimana nggak semangat Red Velvet perdana ku diterima tanpa harus ku jelaskan. Bahkan dipersilahkan untuk dipajang di bufet tertinggi dan paling depan kaca toko kue. Tempat ter-Istimewa.
"Jangan buat saya rugi!" ucap pak Boss memperingatkan
"Saya takkan membuat Bapak rugi," ucapku meyakinkan.
"Oke kamu boleh balik ke dapur!" ucap pak Boss. Aku pun kembali ke dapur dengan perasaan bahagia.
"Kayaknya ada yang lagi bahagia nih," ucap Bang Denny iseng. Aku hanya senyum-senyum bahagia.
"Boleh nih bagi-bagi kebahagiaannya," imbuh Arjuna.
"Ambil aja tuh banyak kok!" ucapku dan mereka pun langsung berlari menuju meja yang kutunjuk, disana ada kue kering buatanku yang diolesi keju dan coklat. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka.
"Mbak Nanda," panggil seorang perempuan dari arah belakang. Dia juga teman kerja ku namanya Septi ia bertugas menjaga kasir sedangkan aku menjadi koki di café tersebut.
"Iya," ucapku menoleh ke belakang
"Nih ada titipan bunga kaktus," ucap Septi sambil menyerahkan kaktus tersebut.
"Dari siapa?" tanyaku sambil mengambil kaktus tersebut.
"Entahlah. Saya juga nggak tau namanya, yang saya tahu dia cowok ganteng," ucap Septi senyum-senyum sendiri tak jelas.
"Hmm makasih ya Sep. Kamu mau?" ucapku sambil menawarkan kue kering bikinanku.
"Mau dong, mbak. Boleh saya ambil?" tanya Septi.
"Iya boleh dong, nih. Saya mau keruangan saya dulu," ucapku sambil menyerahkan kantung kue kering ke Septi.
"Makasih, mbak," ucap Septi yang hanya kubalas dengan lambaian tangan dari belakang.
Di kamar ku yang tak terlalu besar dan tak terlalu kecil ini suasananya sangat nyaman karena desain ruangannya sangat ku suka. Wangi vanili semerbak menyambut ku, warna cat dinding ruangan itu serba putih dan abu-abu yang tak menampakkan kesan sumpek dan sangat menenangkan pikiran, dengan satu lukisan kecil bergambar kue-kue dan di sudut ruangan ada foto-fotoku dengan sajian kue istimewa yang pernah ku buat untuk Sweet Taste, tetapi memang tak pernah sehebat Red Velvet tadi. Akh aku belum sempat swafoto dengan cake terbaru ku, mungkin nanti sore. Biar Caca yang memotretku seperti biasanya. Line-ku tiba-tiba berdenting.
Chacha
'My dear... Aku mencium bau-bau kebahagiaan. Apakah kau tak ingin berbagi wanginya dengan ku?'NandaFazra
'Kau selalu tahu perasaanku. Jemput aku, akan kutraktir makan siang'Chacha
'Lima belas menit nyampai, tolong kamu segera siap-siap ya'Aku hanya mengeleng-gelengkan kepala setelah membaca pesan itu tanpa ada niatan untuk membalasnya.
~lima belas menit kemudian
"Udah siap, Dear?" suara seseorang membuat ku terbangun dari tidurku.
"Astaga kamu bisa nggak usah ngagetin?" gerutuku.
"Sorry, Dear. Jangan ngambek dong" ucapnya merayuku, "Oke kita makan siang dimana nih?"
"Terserah aja, aku ngikut," ucapku malas mikir
"Oke kita jalan," ucapnya sambil menarik tangan ku...
#cuap-cuap author
Langsung lanjut aja yak bacanya 😘
.
.
.
.
.
.
.
.
Salam perindu pada cinta nyata bukan pada cinta semu apalagi cinta abu-abu.
~Nadyafazira~
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Velvet dan Kado Kaktus
Short Storyketika serigala berbulu domba menjadi salah satu parasit didalam mimpi berharga...