5

11 0 0
                                    

Gadis berparas manis itu masih menyapu lantai kelas yang telah bersih. Sekalipun Naya, sahabat sekaligus teman duduknya itu mengingatkannya bahwa lantai sudah bersih. Ia tetap menyapu lantai dengan pandangan kosong. Ada sesuatu hal yang memenuhi kepalanya. Apalagi kalau bukan pernyataan dua cowok kemarin. Itu cukup membuatnya stres bukan main.

Ia masih memikirkan adanya Fiona di sisi Aga, apa jadinya nanti jika Aga memutuskan hubungan dengan Fiona?

"Kei. Lo kenapa sih?" Naya menghentikan aktifitas yang dilakukan oleh Keira.

Seketika itu juga Keira tersadar bahwa ia memiliki Naya, mungkin saja gadis ini bisa memberi solusi untuk masalahnya saat ini.

"Nay. Reo sama Aga nembak gue."

Naya membelalak kaget dengan pertanyaan -serius lo?- yang lebih membuat Naya kaget bukan main adalah Reo. Selama ini mereka terlihat begitu tak akur, bahkan di setiap detiknya mereka selalu saja bertengkar.

"Kei, lo serius?" Tanya Naya sekali lagi untuk memastikan.

Kepala Keira bergerak naik turun berarti jawabannya -iya-

Rasanya sulit untuk Keira menjawab 2 pernyataan itu. Ia ingin segera menjawab tidak, tapi ia juga harus berpikir dua kali.

"Gue bingung, Nay." Ujarnya.

"Kenapa bingung? Lo bisa pilih Reo kalo lo mau."

Solusi Naya sama sekali tak mengubah semuanya. Pikirannya masih saja resah, bimbang, ya seperti itulah.

"Tapi, Aga.."

"Kei, lo mau dibilang PHO? Aga udah punya cewek, Kei. Ya kali lo mau terima dia."

Okey, Naya sama sekali tak mengenal hubungan Aga dan Fiona. Andai Naya tahu, mungkin ia akan bicara berbeda. Naya pasti akan meminta Keira untuk memilih Aga.

Karena cowok berparas biasa tapi kece itu merupakan tipe cowok idaman. Maka sebab itu para cewek di sekolahan ini mengidolakan dia. Selain kece, Aga begitu baik dan ramah. Apalagi dengan perempuan, sikapnya pasti akan berubah jadi sangat lembut.

Keira menghela nafas pelan, terselip rasa bimbang disana.

"Cara nolaknya gimana?"

"Keira! Lo bego' atau gimana sih? Tinggal ditolak aja! Susah deh.." kesalnya, Naya memang tipe orang seperti ini. Tapi asal kalian tahu, Naya rela melakukan apa saja demi membuat sahabat disampingnya ini tersenyum dan bahagia. Sifat penyayang Naya inilah yang membuat Keira nyaman bersamanya.

Bukan itu solusi yang ingin di dengarkan Keira. Ah, daripada memusingkan hal seperti itu, lebih baik memikirkan pelajaran hari ini saja.

"Tau ah gue. Bomat." Ketusnya sembari meletakkan sapu yang sedari tadi ia genggam dan kembali ke bangkunya.

Sementara Naya, hanya diam. Ia menaikkan sebelah alisnya.

"Tai lo! Tadi lo yang kayaknya niat banget buat curhat, eh malah bomat." Ia berekspresi seakan lucu.

***

Reo dan dua temannya, alias Gandhi dan Bagas berjalan mengelilingi lapangan basket entah apa tujuan mereka.

Pertamanya, Reo yang berjalan layaknya orang bingung. Namun sesaat kemudian, Gandhi dan Bagas mengikuti gaya berjalan Reo. Memutar jalan sembari memegang kepala.

"Anjer ngapain lo berdua ngikutin gue?" Tanya Reo yang telah menghentikan aktifitas anehnya tadi.

Gandhi dan Bagas menoleh serempak, "Lo kan bos, ya jadi apapun lo lakuin, kita lakuinlah!" Bodohnya lagi Gandhi menjawab pertanyaan Reo.

Tangan Reo refleks menjitak kepala Gandhi juga Bagas dengan tak keras.

"Bego'! Sejak kapan gue jadi bos lo pada? Ogah gue punya anak buah kayak lo berdua!"

Bagas kemudian tertawa, bahkan dari pelan menjadi kencang.

"Ngapain ketawa? Ada yang lucu?" Tanya Reo dengan nada khasnya.

Ah, sudah ditebak, Bagas pasti akan menggelengkan kepalanya seperti biasa. Bagas kan' memang seperti ini. Kadang menjadi sosok yang tak jelas.

"Tai lo!" Kesal Reo saat tahu apa jawaban Bagas.

"Re, lo keliatannya galau gitu. Ada masalah sama Keira?" Tepat sasaran! Gandhi selalu tahu apa saja yang membuat Reo terlihat begitu lemah,lesu, letih:v

Reo hanya mengangguk, membuat Bagas ingin tahu apa maksud anggukan itu.

"Lo nembak dia?" Yak, Bagas sepertinya mulai tahu semuanya. Entah darimana.

Mata Reo terpejam sejenak, mencoba menghirup udara dengan tenang. Seketika itu pula tangan Gandhi menoyor kepalanya,

"Lebay lo! Nembak cewek kok malah galau!" Ledek Gandhi tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Sialan lo," umpatnya.

Reo hanya takut jika Keira lebih memilih Aga dibanding dirinya, yang telah mengenal gadis itu lebih dari 6 tahun. Bahkan sebelum mereka tumbuh menjadi seorang remaja, mereka telah mengenal satu sama lain. Bahkan sangat dekat.

"Tau gak, tadi anak kelas ipa, lagi pada heboh heboh tu!"

Telinganya kini beralih ke topik yang dibicarakan Gandhi, anak itu selalu tahu apa saja perkembangan-perkembangan terbaru dari para murid yang menjadi idola di sekolah ini.

"Emang ada apaan, Dhi?" Kini Bagas balik bertanya.

Gandhi menarik dagu Reo agar melihat wajah sok lucunya itu, kemudian berekspresi serius layaknya seseorang yang ingin berpidato.

"Aga mutusin Fiona di depan anak-anak kelas ipa!"

Deg! Jantung Reo semakin ingin berhenti. Matanya menatap Gandhi dengan tajam, membuat Gandhi melepaskan tangannya dari wajah Reo.

Wajahnya tertunduk pelan. Matanya berubah jadi lesu.

Tatapan itu seakan berbicara-anjir, abis harapan gue-

"Re, lo gak kaget? Kan denger denger Fiona suka tuh sama lo."

Malas rasanya mendengar kata kata itu, ia senang jika banyak yang mengaguminya. Tapi tidak jika ia mendengar Fiona yang mengaguminya. Ada sebuah kenangan buruk mereka yang membuat ia lebih baik melupakan semuanya. Termasuk nama orang itu.

"Tutup mulut lo, atau gue tabok lo pake sepatu?" Ucapnya tajam. Setajam silet.

Reo memang tipe orang yang tertutup. Ia jarang bicara soal bagaimana kehidupannya pada Gandhi dan Bagas. Ia hanya tak ingin jika ia bercerita, semua ingatannya akan tersalur pada kejadian kejadian itu. Bukan berarti Gandhi dan Bagas adalah orang lain. Reo telah menganggap mereka berdua layaknya saudaranya sendiri.

"Okey, gue tau lo gak suka sama dia."

"Karena lo suka sama Keira." Sambung Bagas dengan nada meledek.

"Anjirr tai lo!"

Botol sampah yang ada di depannya dengan cepat kilat terlempar ke hadapan Bagas.

Tapi sayangnya botol itu tak sampai ke kepala Bagas, anak itu pintar menghindar. Alhasil, botol itu sampai di punggung bu Hanna yang tengah mengawas lapangan. Badan bu Hanna berbalik marah.

"Siapa yang melempar botol sampah ini?!" Tanyanya tajam.

Disana tidak hanya mereka yang terlihat, jadi ada kesempatan mereka untuk melarikan diri.

"Suekk lo, Re!" Bisik Gandhi.

You Are The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang