•Un•

1.6K 250 21
                                    










✧・゚: *✧・゚:* Hourglass *:・゚✧*:・゚✧








You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You'll never know dear, how much I love you
Please don't take my sunshine away~




Suara nyanyian nyaring anak-anak diiringi denting piano yang mengalun menghias udara. Riuh tawa riang berderu, mengiring kaki-kaki kecil berlarian di atas rumput hijau segar, berkilau di bawah matahari yang tak lelah memancarkan sinarnya. Semua tak luput dari pandangan seorang Kim Doyoung. Lelaki yang sekarang duduk di hadapan piano itu tak bisa untuk tidak tersenyum melihat tawa riang dari anak-anak yang tak mampu mendapat kasih sayang yang selayaknya mereka dapat di usia sangat dini.

Semua dari mereka masih sangat kecil, dengan usia rata-rata lima sampai tujuh tahun. Anak-anak yang disatukan oleh hal yang sama, dibuang oleh orang tua mereka.

Panti asuhan L'arc en Ciel yang berada tepat di atas bukit itu tak pernah sepi dan selalu diwarnai keceriaan. Bangunannya berbentuk rumah yang amat besar, memiliki gereja di samping kiri dan satu bangunan kotak lagi uang difungsikan sebagai tempat belajar-mengajar. Kepala Panti tidak ingin anak-anaknya kekurangan pendidikan.

Orang-orang yang pernah datang untuk mengadopsi di panti itu selalu mengatakan kalau anak-anak di sana tak ada satupun yang tidak tersenyum. Semuanya tampak bahagia, cerita, dan tawanya sangat menenangkan telinga meski beberapa dari mereka memiliki jam yang jarumnya berdetak sangat cepat. Tapi tak ada yang memedulikan jarum jam kehidupan yang melingkar di pergelangan tangan kiri mereka bergerak cepat atau lambat, hidup mereka terlalu berharga jika dihabiskan hanya untuk meratapi nasib yang Tuhan berikan.



Penuhi kehidupan dengan kebahagiaan, dan mati tanpa penyesalan.




Anak-anak seperti sudah terdoktrin untuk berpikir seperti itu. Semua, tanpa terkecuali.



"Kim Doyoung!"



Lelaki manis pemilik bibir tipis itu menoleh, menatap sang pemanggil yang melambaikan tangan dari depan pintu bangunan utama panti. Melambai-lambaikan tangan agar lelaki itu segera datang padanya, seakan ada hal penting yang harus diberitahukan saat itu juga.

"Anak-anak! Kakak masuk sebentar, ya." Doyoung berseru pada anak-anak yang langsung berhenti berlari setelah mendengar suaranya. Kepala mungil mereka mengangguk-angguk sebelum kembali bermain kejar-kejaran di lapang rumput luas.

Doyoung bangkit, melangkah menuju orang yang memanggilnya. Qian Kun, satu-satunya anak yang seumuran dengan Doyoung, seseorang yang baru saja berpindah dari panti di kota sebelah.

Menurut yang Doyoung dengar dari kepala pantinya, panti asuhan tempat Kun sebelum tinggal diduga melakukan kekerasan kepada anak-anak di sana, bisa dilihat dari luka lebam dan cakar yang masih membekas di wajah manis penuh senyum itu.

"Ada apa, Kun?"

"Tadi kepala panti menyuruhku untuk memanggilmu," katanya sambil mengamit lengan Doyoung. Doyoung yang merasakan sentuhan di lengannya hanya tersenyum dan menepuk pelan lengan Kun untuk memberikan ketenangan pada tubuhnya yang sedikit bergetar. Seakan sudah terbiasa dengan keadaan Kun yang seperti ini, mereka melangkah melewati koridor dengan Doyoung yang tetap menenangkan Kun.

"Sudah minum obatmu?" tanya Doyoung. Anggukan pelan dari Kun menjadi jawaban. "Istirahat dulu kalau begitu. Nanti kita bermain lagi, ya?"

Kun mengangguk lagi, perlahan melepaskan tangan Doyoung lalu melambai kecil pada lelaki itu sebelum berlari pelan menaiki tangga berlantai marmer menuju kamarnya di lantai dua. Doyoung menghela nafas setelah Kun menghilang dari hadapan, kegundahan perlahan menyelimuti ruang hatinya.

Takut, tapi sempat Ia melirik sejenak jam kehidupan yang melingkar di pergelangan tangan kiri Kun.

Jarum jam milik Kun bergerak cukup cepat.

Dan hanya tersisa sedikit waktu lagi bagi lelaki yang masih berusia tujuh belas itu menjalani hidup di dunia.

Jika nanti hal itu benar terjadi, Doyoung sama sekali ingin melihatnya. Dia tak akan mampu melihat satu lagi orang yang dia sayangi meregang nyawa.

Meski Kun bukan teman kecilnya, orang baru di hidupnya, tetap saja rasa sayang sudah muncul ketika pertama kali Doyoung melihat tubuh kecil Kun yang gemetar dalam pelukan kepala panti. Dengan sepasang mata kosong dan sembab, darah yang mengalir dari pelipisnya. Waktu itu Doyoung langsung berlari dan memeluk erat tubuh Kun tanpa peduli akan piyama kesayangannya terkena noda darah. Membisikkan kalau dia bisa makan sepuasnya di sini, baju baru sudah menanti setelah selesai mandi, selimut tebal dan hangat, teman-teman yang menerima dan mau bermain dengannya. Kun akan baik-baik saja di panti asuhan ini.

Doyoung juga sudah mendengar cerita dari Kun. Bagaimana dia melihat teman-teman disiksa dengan begitu kejam, hampir setiap hari dia melihat jarum jam yang melingkar di tangan teman-temannya berhenti dan nyawa mereka diambil oleh Tuhan, karena sakit atau kehilangan banyak darah yang keluar dari luka-luka yang tak pernah menutup.

Tak heran jika Kun mengalami trauma yang amat besar.

Pada darah, juga kehilangan.


"Doyoung!"

Suara lembut dari kepala panti menyadarkan lamunannya. Doyoung tersenyum dan langsung berlari mengampiri pria paruh baya yang selalu senang jika dipanggil Leeteuk oleh anak-anak. Bahu Doyoung dirangkul, digiring masuk ke dalam ruangan yang diketahui sebagai ruang pertemuan. Ruang dimana anak-anak panti akan bertemu dengan orang-orang baik yang akan memberikan kebahagiaan, menjadi orang tua yang akan mendidik dan menjaga mereka.

Pandangan Doyoung langsung mengedar menyisir ruangan, berpikir kalau pasti ada sesuatu yang harus Ia lakukan sampai-sampai harus dipanggil ke tempat ini. Cukup lama Doyoung berpikir, hingga dia menemukan sesosok anak laki-laki yang mungkin berusia sama dengannya tengah duduk diam di atas sofa, berhadapan dengan meja kayu dengan tumpukkan berkas milik Leeteuk.

Tahu apa yang terjadi, Doyoung langsung menyunggingkan senyum manis sebagai sapaan kepada anak lelaki itu, berharap akan ada reaksi menyenangkan menjadi balasannya.

Sayangnya, tidak sesuai yang Doyoung harapkan. Anak itu malah menunduk menghindari tatapan Doyoung, menatap lurus pada kedua tangan yang bertumpu di atas paha.

Doyoung tidak kesal, lebih tepatnya tidak bisa kesal karena sudah cukup maklum dengan tingkah seperti itu. Dia sudah mengalaminya berapa kali dengan anak-anak lain. Bahkan anak-anak itu sekarang sangat akrab dengannya.

"Tolong maklum, ya, Doyoung."

Tidak berkata seperti itupun, Doyoung pasti sudah sangat maklum. Leeteuk mendekati lelaki yang masih menunduk itu, berlutut lalu mengusap helai kecokelatan yang jatuh menutupi dahi, panjangnya sudah melewati alis dan hampir menutupi sepasang mata sipitnya. "Jaehyun, lihat ke sini," ujar lelaki itu lembut.

Lelaki bernama Jaehyun itu perlahan angkat kepala, menatap Leeteuk dengan netra bulat tak berjiwa.

"Nanti kau akan sekamar dengan Doyoung, Kim Doyoung. Kau mau, kan, berteman dengannya?"

Mulut lelaki bernama Jaehyun itu tampak sedikit terbuka dan kata yang keluar dari mulutnya sungguh tak terduga, terlebih bagi Doyoung dan harapan berlebihan kalau anak itu akan berkata sesuatu yang menyenangkan hatinya.









"Terserah saja," kata Jaehyun. "Selama itu tidak menganggunya ataupun mengangguku. Terserah saja."










✧・゚: *✧・゚:* Hourglass *:・゚✧*:・゚✧

✅Hourglass • JaeDoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang