23. Degem

149 12 2
                                    

Saat udah jadi kakel, pasti lo punya degem yang bisa lo jadiin gebetan kan.

Awalnya gue nggak tertarik sama sekali. Bahkan cenderung nggak tau menau.

Tapi,

Sabdoel si kera ajaib itu dengan tiba tibanya mengenalkan gue yang polos ini tentang 'degem'.

Awalnya gue ga ngerti.



Pagi itu, seperti biasanya, Sabdoel yang rumahnya jauh itu pasti udah berangkat pagi banget, gue yang datang mepet itu pun langsung duduk di sebelah Sabdoel.

"Lia, gue udah dapet degem nih" kata Sabdoel membuka percakapan.

Gue cuma bisa cengo dong.

Masa di umur 14 tahun, remaja di negara +62 ini udah berani mabok mabokan.

"Eh anjing, parah banget lo, gue emang hobi ngomong kasar di depan lo ya, tapi masi batas wajar anjir" kata gue sedikit memekik pelan di depan Sabdoel.

"Hah?!"

"Lo dugem kan?! Dugem kan?! Mabok mabokan itu anjer!"

"Buset, LO HIDUP DI JAMAN APAAN LIA?! ADAM DAN HAWA?!" bentak Si Sabdoel ke gue yang cuma bisa geleng geleng ga paham.

Ya mana gue tau.

Gue kan ga tau.

Lalu si Rendi yang kebetulan 'selalu' duduk di belakang gue itu ikut menengahi perdebatan di antara kami.

"Em, mungkin gini Li maksud Yanti-" kata rendi terhenti karena gue memotong omonganya yang tak terkendali.

"Eh, stop deh Ren"

Gue melirik sekilas ke arah Sabdoel.


Mukanya merah anzenk.


Kurang lebih sebelas duabelas sama banteng.


"Lo... Harus pergi sekarang Ren" bisik gue hati hati.

Rendi tetap diem nggak berkutik.

Gue udah ngode ngode, mulai dsri kedipin mata, naik turunin bahu sampai injak injak bumi pun gue lakuin untuk melindungi si Rendi dari marak bahaya.

"Apaan sih Li? Ada yang salah sama sama gue?"

"Kabooor Ren kaboor sialan!!!" teriak gue nggak keras keras amat namun cukup keras di pendengaran Rendi dan Sabdoel.

Si Sabdoel udah berpindah.

Lalu dengan segera gue dorong Rendi keluar kelas buat nyelametin diri dari serangan banteng ngamok.

Lalu gue pancing si Sabdoel.

"DEGEM APAAN ANJER?" kata gue keras, berhasil membuat seluruh penghuni kelas purba ini diam tak berkutik.

Lalu, majulah satu orang di antara kami.

Orangnya item, kurang lebih mirip oreo gosong gitu, pertama kali gue lihat, mukanya mirip pantat panci ibu ibu kampung yang awet tak terhingga hingga sekarang.

Anaknya tinggi, tegap, dan nakutin gitu.

Nyali gue menciut.

Si Item mulai mendekat ke arah gue.

"Ancog, di jaman sekarang, lo, seorang Julia misel kejadug tembok ini kaga tau arti degem?"

Gue cuma ngangguk kaku.

"SAMBERGLEDEK! JADI BENER?! LO HIDUP DI JAMAN PALAEOLITHIKUM YA?"

Lagi lagi, saking takutnya gue cuma bisa geleng geleng kepala kaku.

"SAMVAH!"

Lalu si item dekil itu pergi ninggalin gue dan kelas kembali kondusif.

Anak anak cewek yang tadinya asik ngegibah berpindah ngepung gue.

"Ha? Jadi lo nggak tau degem ya?"

"Wtf?"

"Lo beneran dari zaman palaeolithikum?"

Dan masih banyak lagi bacotan mereka yang nggak ada habisnya.

Gue cuma nggangguk kepala dan gelengin kepala doang.

Gitu aja teros.









Jengah, gue pun memutuskan keluar kelas.

Fusing gila gue.

Gue duduk di tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai atas.

Gue duduk anteng sembari menunggu guru mata pelajaran yang masuk.

Lalu, mata gue menangkap radar cogand dari arah jam 6.

Gue pun segera menengok ke belakang.

Gue lihat Rendi, membawa segelas minuman coklat favoritnya.

Dia duduk di tangga bawah gue.

Asiq.

Deg degan hamba ya tuhannnnnnn.


"Jadi, lo gak tau degem Li?" tanyanya tiba tiba.

"I-iya" jawab gue kikuk.

"Degem artinya dede gemes, lo tau dede gemes?"

Lagi lagi gue cuma menggeleng kaku.

"Huh, lo hidup di benua mana sih?"

"Asia lah? Masa lo gatau Ren?"

Rendi menabok kepalanya sendiri.

Lalu, Rendi mengarahkan jari telunjuknya pada segerombolan adek kelas yang lagi olahraga.

"Itu degem, itu degem, itu degem, yang ganteng doang sih"



Dan sekarang.

Gue.


Seorang Julia Michele Jadug.



Di umurnya yang ke 13 tahun.

Sudah mengerti apa itu 'degem' untuk anak remaja smp.

Kisah Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang