Chapter 1

11.2K 629 30
                                    

Almara Mahendra memasukan beberapa pakaiannya kedalam koper mini hitam yang baru saja dibelinya satu minggu yang lalu. Tak di sangkanya kalau dia akan menggunakan benda itu dalam waktu dekat. Ini memang sudah takdir.

Suara pintunya yang terbuka membuat kegiatan Alma terhenti. Ditatapnya ibunya yang sudah berdiri di dekat lemarinya. Sedang menatap ia, dengan sendu. Ibunya tentu saja keberatan dengan kepergiannya. Perdebatan juga sudah terjadi sejak kemarin. Tapi keputusan Alma sudah bulat, dia tidak bisa hanya berpangku tangan dirumah sementara adiknya hilang entah dimana di kota Wina. Untung saja disana ada Jason yang memberikan kabar kalau adiknya, Teresa tidak ada di apartemen miliknya. Entah kemana gadis itu.

Alma mendekat pada ibunya. Memeluk sang ibu dengan lembut. "Mama."

"Hati-hati disana, jaga dirimu. Jika dalam waktu beberapa hari kamu tidak menemukannya maka pulanglah. Biar papamu yang akan mengurus semuanya, lagipula Teresa pastinya baik-baik saja. Dia mungkin hanya sedang memiliki masalah." Ibunya berkata. Nadanya sedih menyayat hati. Alma sendiri hanya mengangguk.

Teresa memang hanya adik tirinya tapi tetap saja, gadis itu satu-satunya adik yang dimilikinya. Saudaranya.

Teresa adalah tipe keras yang akan selalu melakukan apapun yang diinginkannya. Seperti pergi sekolah ke Wina, dia memutuskan semua itu secara sepihak. Mengatakan pada ayahnya kalau dia tidak betah di rumah apalagi dengan adanya Alma dan ibunya. Ya. Teresa memang membenci mereka. Sudah sepantasnya karena pernikahan ibu Alma dan ayah Teresa tidak mendapat persetujuan dari Teresa.

Sejak lama Teresa membenci Alma. Banyak hal pula yang dilakukan Teresa pada Alma dalam kebenciannya itu. Seperti merebut semua pria yang mendekat pada, Alma. Alma sendiri tidak ambil peduli dengan semua itu karena bagi Alma ayah Teresa adalah dewa penyelamat untuk keluarga mereka jadi Alma berpikir kebencian Teresa dan cara-caranya memperlakukan Alma adalah harga yang harus di bayar atas kehidupan mewah yang diberikan kepadanya.

Tapi kini, saat Jason mengatakan kalau Teresa menghilang. Alma tidak bisa tidak merasa khawatir padanya, Teresa memang membencinya tapi dia mencintai Teresa. Selayaknya sebuah keluarga.

Alma berjalan menarik kopernya. Melambai pada Luna yang dilihatnya sedang berdiri menunggunya. Luna yang melihatnya ikut melambai. Senyum cerah terpancar diwajah Luna. Luna adalah sahabatnya, Alma memang tidak akan pergi sendiri kesana tapi ada Luna yang ikut bersamanya. Itulah satu alasan ibunya mengizinkan ia untuk pergi.

"Jadi bagaimana hubunganmu dengan Dimas? Aku dengar kau menunda pertunangan kalian?" Luna bertanya, sedikit kecewa dengan kabar yang di dengarnya.

Alma sendiri hanya menatap Luna dengan sedih. Ya, hari ini harusnya menjadi hari pertunangannya dengan Dimas. Pacarnya. Tapi dengan berat hati ia menunda pertunangan mereka dan memilih pergi mencari adiknya. Dimas sendiri adalah pria yang baik, dia tidak masalah dengan semua itu. Dimas juga akan menyusul Alma ke Wina tapi mungkin besok. Atau beberapa hari lagi. Dimas memiliki pekerjaan yang membutuhkan perhatiannya.

"Ya. Kami menunda."

"Apa kau tidak berpikir kalau ini semua hanya alasan, Teresa saja? Dia mungkin tidak ingin kau bertunangan jadi dia melakukan semua ini?"

Alma menatap Luna. Sempat terpikir memang di Alma dugaan itu. Tapi apa mungkin Teresa akan berbuat sejauh ini?

Dimas adalah pria yang baik, dia pria yang bertanggungjawab. Itulah alasan Alma menerima lamaran Dimas. Cinta? Alma juga tidak mengerti. Yang pasti bersama dengan Dimas terasa baik-baik saja. Semuanya lurus dengan warna putih cerah. Dimas menghormatinya dengan segenap jiwa juga Dimas pria yang akan selalu mengerti dirinya. Apalagi yang kurang? Cinta mungkin bisa tumbuh setelah mereka satu atap kelak. Itu harapan Alma.

"Kalaupun ya, kami hanya menunda. Semua akan baik-baik saja."

"Apa kau yakin? Kita tidak pernah tahu apa yang ada didepan kita. Kadang waktu juga memiliki sekenarionya sendiri."

Alma terhenti. Menatap punggung Luna yang sudah berjalan menjauh. Iyakah?

Alma menggeleng. Dia tidak bisa merisaukan masa depan sekarang. Yang harus dia pikirkan sekarang adalah apa yang terjadi hari ini bukan besok atau nanti. Dengan perasaan mantap, Alma berjalan menyusul Luna.

Waktu memang memiliki sekenarionya sendiri. Kadang sekenario itu terkesan mengada-ada.

***

Kavier Jameson Henry menatap bandara internasional Wina dengan ngeri. Ringisan terdengar lewat bibirnya yang lembab. Tubuh tingginya menjulang dengan gagah tegap. Dia kembali ke kota ini setelan hampir beberapa tahun lamanya dia tidak lagi menginjakkan kaki disini. Satu alasan hanya karena merindukan wanita bodoh itu. Alasan kedua adalah rencana raja atau ayahnya yang ingin menjodohkan dia dengan seorang putri bangsawan tapi jelas Kavier tidak akan setuju. Karena pernikahan bagi Kavier adalah hal yang sangat sakral yang hanya bisa dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai. Dia tidak bisa menikahi putri Tabita itu. Jika harus menikah, Kavier hanya ingin bersama gadis itu. Gadis yang selama ini selalu hadir dalam mimpi-mimpi indahnya.

Akhirnya Kavier memutuskan kembali ke Wina.

Tapi kepergiannya membuat murka ayahnya. Hingga seluruh fasilitas milik Kavier ditarik termasuk jet pribadi yang membuat dia harus memakai penerbangan komersil dan berakhir dengan saling berdempetan dibandara ini. Tapi ayahnya terlalu naif dengan melakukan semua itu, karena ini adalah Wina. Dimana Kavier membuat kejayaannya disini. Wina adalah daerah kekuasaannya bagi Kavier, semua orang akan rela melakukan apapun demi Kavier. Seperti sekarang, mereka semua menatap Kavier dengan perasaan kagum. Tak percaya seorang Kavier akan ada di kota mereka. Kavier hanya mendesis senang.

"Pangeran." Suara panggilan yang datang dari belakang tubuhnya membuat Kavier berbalik. Pelayannya yang setia sudah berdiri dengan kepayahan disana.

"Apa yang berlaku padamu, Mushap?" Logat bahasa milik Kavier terdengar kental.

Mushap hanya tersenyum. Dengan di paksakan. "Saya hanya lelah membawa barang-barang ini, pangeran. Apa pangeran tidak ingin menelepon salah satu hotel untuk menjemput kita?"

Kavier menyeringai. "Nanti. Aku harus menemukan milikku dahulu. Setelah itu kau akan aku biarkan dengan segala kemewahan hotel."

Mushap hanya meringis. Apa yang akan ditemukan pangerannya? Bahkan perempuan yang selalu disebutnya itu seperti hanya ada didalam otak khayal sang pangeran.

Kavier menatap seluruh area bandara. Melihat banyak orang yang berlalu-lalang. Mata Kavier tajam mencari. Lalu senyum lebar telah tampak jelas di bibirnya. Dia menemukannya.

"Bukankah sudah aku katakan padamu, Mushap? Kami memiliki ikatan yang tidak akan bisa dijelaskan oleh manusia. Ini takdir dewa."

Mushap hanya mengernyit tidak mengerti. Tapi saat pangeran melangkah meninggalkannya, Mushap mau tidak mau harus ikut berjalan.

Kavier memeluk perempuan itu. Dengan hangat. Aroma khas buah miliknya tidak pernah berubah, seolah waktu tidak pernah berjalan meninggalkan mereka. Perempuannya.

Kavier memutar tubuh perempuan itu, mata melototnya hanya membuat Kavier tersenyum semakin bahagia. Kavier mengusap wajah perempuan itu dengan lembut dan hati-hati. Lalu tanpa bisa menahan rasa bahagianya Kavier membiarkan dorongan ilmiahnya bekerja. Bibirnya telah menempel di bibir perempuan itu, mencium bibirnya dengan pelan dan juga penuh cinta. Dia tidak akan melepaskan perempuan ini lagi. Tidak akan pernah.

***

Vote dan komen ya.. awas kalau nggak.

Craved by the prince ✓ TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang